TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor memutuskan menahan peringkat utang Indonesia satu level di bawah peringkat layak investasi. Direktur Eksekutif Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Perry Warjiyo, mengatakan keputusan itu tak sesuai dengan harapan BI. "Ini tidak seperti yang kami harapkan," ujarnya seusai menjadi pembicara dalam diskusi Hitung Ulang Guncangan Harga BBM di Jakarta, Senin, 23 April 2012.
Sebelumnya, dua lembaga pemeringkat internasional sekelas S&P, yakni Moodys dan Fitch Ratings, sudah lebih dulu menghadiahi Indonesia peringkat layak investasi. (Baca: S&P: Peringkat Utang Indonesia Tetap)
Perry menilai Indonesia sudah layak dihargai lebih tinggi mengingat ekonomi Indonesia terus tumbuh. Dibandingkan dengan 2009 ketika ekonomi hanya bertumbuh 4,5 persen, pertumbuhan saat ini sudah melewati enam persen. Perbankan, kata dia, juga cukup kuat. Kebijakan makro cukup tepat dan kondisi moneter serta fiskal juga tetap terkendali. Selain itu, risiko utang Indonesia rendah, masih di bawah 30 persen.
Soal alasan S&P menahan peringkat Indonesia lantaran adanya ketidakpastian kebijakan penghematan subsidi BBM, kontrak pertambangan dan kedalaman pasar keuangan, Perry menilai seharusnya hal itu bukan masalah. "Kalau kami lihat dari sisi BBM, memang ada ketidakpastian, tapi kalau kami lihat dampaknya terhadap fiskal, itu masih manageable," ujar dia.
Lagipula, Perry menambahkan, defisit paling tinggi hanya 2,8 persen kalau semua anggaran diserap. Dari sisi itu, kalau dikaitkan dengan keberlanjutan fiskal, Indonesia masih cukup kuat. Bank Indonesia, kata dia, juga terus mendorong pendalaman pasar keuangan, salah satunya dengan menambah produk. Selain itu, Indonesia juga terus memperkuat infrastruktur.
Meskipun kecewa, Perry menyadari S&P memiliki pertimbangannya sendiri. "Dari sisi Indonesia, kami akan terus tunjukkan makro ekonomi kuat, risiko utang rendah," ujarnya.
MARTHA THERTINA