TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah pada perdagangan pekan ini diperkirakan belum banyak berubah dibanding sebelumnya. Pekan lalu rupiah menyentuh level di atas 9.200 per dolar Amerika Serikat dipasar Non-Deliverable Forward (NDF), sehingga dapat membebani pergerekan mata uang lokal awal pekan ini.
Analis pasar uang Lindawati Susanto mengatakan sentimen positif dari faktor domestik, misalnya batalnya kenaikan harga bahan bakar minyak serta rendahnya inflasi yang telah berlalu, membuat pergerakan rupiah kembali akan dipengaruhi faktor eksternal.
Lelang obligasi Spanyol dan Prancis pekan lalu yang kurang diminati pasar membuat para investor kembali khawatir terhadap prospek ekonomi Uni Eropa. “Melonjaknya imbal hasil obligasi Spanyol mengindikasikan bahwa masalah utang di kawasan Eropa belum bisa diselesaikan dan masih membutuhkan waktu yang lebih panjang,” dia memaparkan.
Kembali memburuknya kondisi di Eropa dan tidak adanya stimulus di Amerika membuat para pelaku pasar kembali memegang mata uang yang dianggap lebih aman pada saat adanya ketidakpastian, seperti dolar dan yen.
Imbasnya, rupiah akan kembali dalam tekanan dan berpotensi mengalami pelemahan pada awal pekan ini. Linda memperkirakan rupiah ditransaksikan dalam rentang 9.075-9.150 per dolar AS. Bank Indonesia, yang berupaya menjaga fluktuasi rupiah, serta BI Rate, yang kemungkinan besar akan tetap dipertahankan di level 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur, Kamis mendatang, bisa menopang rupiah minggu ini.
Nilai tukar rupiah Kamis lalu di pasar domestik ditutup di level 9.108 per dolar AS atau menguat 45 poin (0,49 persen) dari posisi pekan sebelumnya di 9.153.
Harga BBM yang tidak jadi naik dan masuknya dana asing ke bursa saham seiring dengan naiknya indeks saham hingga menembus level 4.200 mampu memicu apresiasi rupiah pekan lalu.
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR