TEMPO.CO, Jakarta - Melemahnya rupiah di pasar non-deliverable forward (NDF), Jumat lalu, dapat membebani mata uang rupiah pada awal pekan ini. Pasalnya, pekan lalu rupiah sempat menyentuh level 9.210 per dolar Amerika Serikat.
Di pasar uang Jakarta, Kamis pekan lalu, rupiah ditutup pada level 9.165 per dolar AS, yang berarti melemah 32 poin (0,35 persen) dari pekan sebelumnya di 9.133 per dolar AS.
Nilai tukar dolar AS yang sudah berada di atas 9.200 per dolar AS di pasar NDF akhir pekan lalu dapat menekan rupiah di transaksi hari ini. Di pasar Asia, Jumat lalu, rupiah telah berada di level 9.197 per dolar AS.
Pengamat pasar uang dari PT Monex Investindo Futures, Apelles R.T. Kawengian mengungkapkan, tren dolar AS yang cenderung menguat terhadap mata uang utama dunia dapat membebani apresiasi rupiah.
Positifnya data-data ekonomi AS membuat dolar cenderung menguat terhadap mata uang utama dunia. "Ekonomi AS yang lebih baik dari Eropa serta perlambatan Cina mendorong pelaku pasar lebih nyaman memegang dolar AS," dia memaparkan.
Tekanan terhadap rupiah semakin tinggi menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak. Sebab, inflasi yang tinggi akan membuat imbal hasil (yield) investasi dalam mata uang rupiah menjadi kurang menarik.
Apelles memperkirakan rupiah pekan ini akan cenderung melemah dan diperdagangkan dalam rentang 9.145-9.250 per dolar AS. Rupiah akan mencoba ke level 9.200 setelah di pasar NDF berhasil menyentuh level 9.210 per dolar AS.
Bank Indonesia, yang akan tetap konsisten menjaga mata uangnya, serta aktivitas di Bursa Efek Indonesia diharapkan bisa menjadi pendorong pergerakan rupiah agar tidak melemah terlalu dalam.
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR