TEMPO.CO, Jakarta - Jatuhnya harga-harga saham karena kecemasan terhadap rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi membuat para investor hengkang dari bursa domestik. Untuk sementara, mereka mengalihkan portofolionya dalam bentuk tunai, yakni dolar Amerika Serikat (AS). Ini yang membuat rupiah, Jumat lalu sempat terseok hingga di atas level 9.100.
Minggu lalu, rupiah ditransaksikan melemah 18 poin (0,2 persen) menjadi 9.048 per dolar AS dibanding posisi pekan sebelumnya di 9.030 per dolar AS.
Pengamat pasar uang dari PT Harvest International Futures, Tonny Mariano, mengatakan, rencana kenaikan harga BBM bersubsidi masih akan membayangi pergerakan rupiah pekan ini. "Rupiah akan bergerak dalam rentang yang lebar antara 8.950-9.200 per dolar AS," ucap Tonny.
Transaksi rupiah masih akan dipengaruhi oleh aktivitas saham di bursa domestik. Bila indeks harga saham akan semakin turun, rupiah akan kembali terpuruk. Namun, bila bursa berhasil menguat, pelemahan rupiah lebih dalam akan tertahan. Bank Indonesia yang akan tetap konsisten menjaga di pasar membuat pelemahan rupiah terbatas.
Terapresiasinya euro hingga ke US$ 1.344 mampu menahan supremasi dolar AS, sehingga indeks dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia, Jumat lalu, ditutup kembali turun 0,29 poin (0,37 persen) ke level 78,36. Tertahannya kedigdayaan dolar AS membuat tekanan terhadap rupiah seharusnya mereda. Namun rupiah belum mampu menguat lebih jauh. "Kekhawatiran terhadap kenaikan harga BBM justru melemahkan rupiah," ucapnya.
Selain itu, masih menurut Tonny, terdepresiasinya mata uang yen Jepang terhadap mata uang utama dunia di transaksi crossing (silang) sedikit-banyak mempengaruhi pergerakan mata uang Asia lainnya.
Maka tertekannya yen hingga di atas level 81 per dolar AS membuat mata uang regional agak berat untuk menguat terhadap dolar AS. Meskipun dolar AS sendiri sedang melemah terhadap mata uang utama dunia.
PDAT| VIVA B. KUSNANDAR