TEMPO.CO, Jakarta - Disetujuinya dana talangan kedua bagi Yunani senilai 130 miliar euro (172 miliar dolar AS) belum mampu menghilangkan kekhawatiran terhadap masalah yang dihadapi Yunani. Hal ini membuat rupiah dan mata uang Asia lainnya kembali terdepresiasi. Ditambah lagi, data-data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang dirilis terus membaik sehingga dolar AS kembali digdaya.
Di transaksi pasar uang hari ini, Selasa, 22 Februari 2012, rupiah ditutup melemah 5 poin ke level 9.055 per dolar AS. Masih fluktuatifnya bursa saham domestik membuat rupiah kembali melemah mengikuti pergerakan mata uang regional.
Pengamat pasar uang Lindawati Susanto mengungkapkan, masih adanya ketidakpastian masalah Yunani membuat pelaku pasar enggan berinvestasi di aset–aset yang dianggap berisiko, seperti di bursa saham dan mata uang yang berimbal hasil tinggi. Perkembangan Yunani masih akan menjadi perhatian pasar.
Melonjaknya harga minyak di atas 106 per barel akibat dihentikannya pasokan minyak dari Iran ke negara kawasan Eropa juga menambah kecemasan pasar finansial. Dengan naiknya harga minyak, maka akan memicu kenaikan harga barang sehingga mendorong inflasi tinggi serta berdampak terhadap melambatnya perekonomian global.
Belum adanya keputusan mengenai kenaikan harga atau pembatasan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi membuat para investor bersikap hati–hati. Hal ini terlihat dari jumlah penawaran yang masuk dalam lelang surat utang negara (SUN) Selasa kemarin yang hanya mencapai Rp 22 triliun dari sebelumnya hingga mencapai lebih dari Rp 50 triliun.
Masih menurut Linda, lelang obligasi yang mampu menyerap dana masyarakat Rp 12 triliun dari target sebelumnya Rp 8 triliun belum mampu mendongkrak apresiasi rupiah. “Karena memang isunya bukan lelang obligasi, tetapi faktor global, terutama Yunani,” tuturnya.
VIVA B. KUSNANDAR