TEMPO.CO, Jakarta - Sepanjang minggu lalu rupiah bergerak datar i sekitar 9.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Optimisme investor atas tercapainya kesepakatan Yunani dan para kreditornya, serta keluarnya data inflasi domestik sebesar 0,76 persen tidak mendorong rupiah bergerak lebih jauh.
Akhir pekan lalu rupiah ditutup di posisi 8.968, yang berarti menguat menguat tipis 15 poin (0,2 persen) dari posisi pekan sebelumnya di 8.983 per dolar AS.
Minggu ini akan dirilis dua data ekonomi Indonesia, yakni data Produk Domestik Produk (PDB) dan pengumuman suku bunga patokan BI Rate. Ditambah lagi lelang Surat Utang Negara (SUN) pada Selasa, 7 Februari 2012, dengan target indikatif Rp 8 triiliun.
“Para pelaku pasar pastinya akan melakukan antisipasi keluarnya data ekonomi penting serta lelang obligasi pemerintah minggu ini sehingga diharapkan rupiah bisa menguat,” ujar Nurul Eti Nurbaeti, Kepala Riset Treasury Bank BNI.
Dilihat dari data ekspor yang mengalami penurunan, serta rendahnya inflasi mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan terakhir juga mengalami perlambatan. Namun, upaya pemerintah untuk menggenjot belanja di kwartal IV dapat menopang pertumbuhan ekonomi domestik. “Langkah pemerintah untuk membelanjakan anggarannya menjelang akhir tahun masih cukup efektif untuk menopang pertumbuhan ekonomi di akhir tahun kemarin,” tuturnya.
Pekan ini, Nurul memprediksikan, rupiah akan di transaksikan dalam rentang 8.900 hingga 9.050 per dolar AS dengan kecenderungan menguat. Masuknya aliran dana asing ke bursa saham dan pasar obligasi pekan ini bisa menjadi katalis positif bagi rupiah. Namun, membaiknya data ekonomi AS pekan lalu bisa menjadi hambatan bagi apresiasi mata uang lokal.
BI rate yang juga masih dipertahankan oleh Bank Indonesi di level 6 persen masih menjadi daya tarik investor asing berinvestasi dalam mata uang rupiah. Sehingga dalam lelang obligasi pemerintah,Selasa besok kemungkinan masih akan kebanjiran dana. Sebab mereka berfikir, sekarang waktunya untuk masuk ke pasar obligasi saat harganya masih rendah dan imbal hasilnya tinggi.
Jika lembaga pemeringkat Standard & Poor’s juga akan menaikkan peringkat Indonesia ke level investment grade (layak investasi), maka harga obligasi akan menjadi mahal serta imbal hasilnya akan semakin rendah. | PDAT | VIVA B. KUSNANDAR