TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang lelang obligasi yang dilakukan Prancis hari ini, euro kembali terdepresiasi hingga ke level US$ 1,28. Para investor sangat berhati-hati dan mencermati hasil lelang tersebut karena obligasi Jerman beberapa pekan lalu kurang diminati pasar.
Terpuruknya mata uang Uni Eropa membuat dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat karena menjadi safe haven para pelaku pasar sebagai antisipasi bila lelang obligasi Prancis tidak laku di pasar. Bila ini terbukti memberikan sinyal bahwa utang di kawasan Eropa memang bermasalah.
Dalam transaksi pasar uang hari ini, Kamis, 5 Januari 2012, nilai tukar rupiah ditutup kembali melemah 18 poin (0,2 persen) menjadi 9.163 per dolar AS. Menguatnya dolar AS membuat rupiah kembali melemah.
Menurut pengamat pasar uang dari PT Monex Investindo Futures, Yohanes Ginting, setelah pasar dibuai oleh harapan akan membaiknya ekonomi global di awal tahun kini para pelaku pasar kembali ke realita bahwa Uni Eropa masih menyimpan masalah. Mata uang euro terpuruk di bawah US$ 1,29 menjelang Prancis menjual obligasinya. Jebloknya euro yang memicu penguatan dolar AS berimbas ke rupiah dan mata uang Asia lainnya.
Masih terbukanya ruang turunnya suku bunga membuat rupiah belum mampu menunjukkan kedigdayaannya terhadap dolar AS. “Jadi melonjaknya harga saham dalam dua hari terakhir serta terkoreksinya dolar AS tidak mampu dimanfaatkan oleh rupiah untuk menguat,” ujar Yohanes memaparkan.
Adanya kekhawatiran suku bunga BI Rate akan kembali turun membuat investor masih bersikap menunggu untuk masuk ke pasar investasi domestik. Bila BI turun, imbal hasil obligasi juga akan turun, sehingga akan menggerus keuntungan mereka.
Dalam jangka pendek pasti akan tidak menguntungkan bagi rupiah. “Namun untuk jangka panjang justru positif karena nantinya akan mendorong pertumbuhan,” tuturnya.
VIVA B. KUSNANDAR