TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah menargetkan ekspor batik tumbuh 20 persen pada periode 2021-2025. Pertumbuhan ini didukung oleh diversifikasi pasar sesuai tahap akhir pelaksanaan cetak biru Pelestarian dan Pengembangan Batik Nasional mulai tahun ini.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan, pertumbuhan ekspor batik dilakukan bertahap. Dari 10 persen selama periode 2012-2015, lalu meningkat menjadi 15 persen pada 2016-2020 sebelum akhirnya melonjak 20 persen.
Sejak 2006, nilai ekspor batik Indonesia ke mancanegara sudah cukup besar mencapai US$ 74,23 juta dan pada 2008, nilai hampir menyentuh US$ 100 juta. Namun karena pengaruh krisis global ekspor batik turun di 2009 menjadi hanya US$ 76,01 juta. Tahun lalu, ekspor batik pun hanya mencapai US$ 69,24 juta.
Dia memperkirakan, ekspor batik tahun ini juga masih akan negatif karena pelambatan ekonomi di negara-negara tujuan utama ekspor batik, seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. "Batik adalah produk fashion icon yang pembeliannya dikurangi," ujarnya, 28 September 2011.
Salah satu upaya untuk menggenjot ekspor batik dilakukan dengan melakukan diversifikasi pasar ke berbagai negara. Dan karena produk batik Indonesia cukup bersaing dibandingkan garmen bermotif dari negara lain, Mari yakin target ekspor bakal tercapai.
Selain mendorong ekspor, industri batik juga akan tertolong oleh konsumsi dalam negeri yang pasarnya tumbuh 11,2 persen tahun ini. Pasar batik lokal ini ditargetkan naik hingga 18,5 persen pada tahun 2025. Tahun lalu produksi batik mencapai Rp 39 triliun.
Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah akan menyempurnakan standardisasi batik dengan menerapkan Standar Nasional Indonesia. Selain itu, akan ada labelisasi di tiap batik.
Secara terpisah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pengembangan industri batik tetap memperhatikan lingkungan, khususnya agar limbah bahan pewarna batik tidak lagi mengganggu ekosistem. "Saya mendorong riset dan development pengembangan dan inovasi agar benar-benar jaga lingkungan," ucapnya.
Masyarakat juga diminta selalu merasa bangga mengenakan batik dan mempromosikannya di negara lain. Terlebih karena batik merupakan salah satu produk asli Indonesia yang mendunia, selain angklung, keris dan wayang.
Salah satu persoalan di industri batik saat ini adalah kelangkaan perajin. Dua tahun lalu, pihak UNESCO saat berkeliling Indonesia melihat industri batik sempat mempertanyakan kenapa para perajin batik yang mayoritas sudah berusia tua. "Persoalan regenerasi ini memang susah, tidak banyak anak muda yang mau jadi pembatik, karena itu persoalan ini harus segera diselesaikan," kata Dewan Pembina Yayasan Batik Indonesia, Doddy Soepardi, pekan lalu.
Dia juga meminta pemerintah membuat jurusan khusus batik di tingkat perguruan tinggi. Langkah ini untuk mendorong terciptanya motif batik-batik baru yang mengikuti perkembangan zaman. "Malaysia saja sudah punya jurusan khusus batik di salah satu perguruan tinggi mereka mencetak sarjana batik.” Indonesia sebagai pusat batik dunia seharusnya memiliki jurusan batik di perguruan tinggi.
Untuk hal ini, Ketua Yayasan Batik Indonesia, Jultin Ginandjar, mengatakan sudah meminta Kementerian Pendidikan Nasional untuk membuat kurikulum batik secara nasional tingkat SMP dan SMA. "Saat ini sudah mulai diterapkan tapi masih terbatas di sejumlah daerah sentra batik," ujarnya.
EKA UTAMI APRILIA | EKO ARI WIBOWO | AGUNG SEDAYU | R. R. ARIYANI