TEMPO Interaktif, Jakarta -Pemerintah terus mengkaji bentuk disinsentif impor sejumlah produk elektronik seperti telepon seluler dan laptop. "Bentuk disinsentif bisa macam-macam. Bisa SNI (Standar Nasional Indonesia) atau regulasi lain," kata Direktorat Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi, Kementerian Perindustrian, Budi Darmadi ketika dihubungi, Jumat, 16 September 2011.
Beberapa macam disinsentif impor yang sudah diberlakukan di Indonesia antara lain pengurangan pelabuhan impor. Sebenarnya, disinsentif untuk barang impor, sudah diberlakukan sejak sebelum FTA (Free Trade Agreement). "Namun, beberapa tahun lalu kita mulai FTA dan barang-barang mulai dilepas (bea masuknya) sesuai tingkat sensitivitasnya," kata dia.
Budi menegaskan, aturan ini bukan reaktif karena RIM membangun pabrik Blackberry di Malaysia. "Kita tidak bicara merek tapi kategori produk," ujarnya. "Selain itu, kita juga sudah bisa membuat produk seperti handphone dan laptop sendiri."
Disinsentif impor sudah biasa diberlakukan di berbagai negara. Misalnya di Malaysia, ada aturan pencatatan pengiriman barang. "Itu kan disinsentif juga, bentuknya regulasi teknis," ujarnya.
Selain itu, di Thailand juga ada disinsentif berbentuk antidumping. "Bahkan, ada aturan di satu negara, yang mengirim balik impor mobil karena warna cap sama bempernya tidak sama," kata dia.
Maka, Budi memandang, Indonesia juga mesti memberlakukan disinsentif. "Tapi maksudnya biar mereka tidak hanya jualan saja, tapi produksi juga. I give you business, you give us job," kata Budi.
Eka Utami Aprilia