TEMPO Interaktif, Batang - Sejumlah petani cengkeh di Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, Jawa Tengah, mengaku, tak bisa menikmati cengkeh yang selama ini menjadi salah satu komoditas andalan perkebunan mereka. Kejadian yang telah berlangsung dua tahun ini akibat produksi tanaman cengkeh yang tak lagi berbunga akibat perubahan musim ekstrem.
“Tak ada yang bisa dipanen, karena pohon memang tak produktif,” ujar Herman Wibowo, petani cengkeh di Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, saat ditemui di kediamannya, Kamis, 4 Agustus 2011.
Langkanya produksi bunga yang bisa dijual ini membuat para petani hanya bisa berandai, ketika sejumlah pedagang menawarkan harga hingga Rp 175 ribu per kilogram. Harga ini tergolong paling tinggi secara nasional dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. “Harga ini tak wajar, biasanya antara Rp 25 hingga Rp 50 ribu,” ujar Herman.
Dia mengaku, dari total lahan perkebunan miliknya seluas 20 hektare tak satu pun menghasilkan bunga cengkeh. Untuk menambah pemasukan, ia terpaksa menjual daun cengkeh yang telah berguguran kepada sejumlah pengepul untuk dijadikan minyak atsiri. “Meski harganya cenderung murah, yakni seribu per kilogram."
Kondisi cuaca dalam dua tahun terakhir ini membuat tanaman cengkeh yang dimiliki petani tak produktif. Penyebabnya hujan turun dalam intensitas tinggi dalam kurun waktu lama sehingga tanaman mandul.
Herman memastikan, kondisi ini juga terjadi di daerah lain seperti Minahasa, hal ini ia ketahui berdasarkan koordinasi sesama petani perkebunan yang biasa menghasilkan cengkeh.
Anggota Komisi Perindustrian Perekonomian dan BUMN Hendrawan Supratikno menilai gagal panen cengkeh ini tak hanya terjadi di dalam negeri, namun juga terjadi di luar negeri. Kondisi ini berpengaruh dalam industri dalam negeri dan dikhawatirkan berdampak pada sektor bisnis berbahan baku cengkeh. “Harga di negara lain penghasil cengkeh juga naik dari US$ 3,5 menjadi US$ 17,5,” ujar Hendrawan. Ini menambah biaya tinggi ketika dihadapkan pada hasil kalkulasi kebutuhan cengkeh secara nasional yang mencapai 54 ribu ton per tahun.
EDI FAISOL