TEMPO Interaktif, Jakarta - Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Transtoto Handhadhari, menyayangkan pembuatan peta indikatif yang dilampirkan pemerintah dalam Instruksi Presiden Nomor 10 tentang penundaan pemberian izin baru di hutan alam dan lahan gambut.
Menurut Transtoto, pembuatan peta tersebut tidak transparan dan spesifik. Padahal, pembuatan peta seharusnya jelas tujuan, output, proses, dan sosialisasinya. "Tiba-tiba peta sudah jadi," ujar Transtoto di Jakarta, Senin, 13 Juni 2011.
Peta itu merupakan kunci keberhasilan perlindungan hutan. Idealnya peta moratorium tersebut dibuat secara spesifik. Sedangkan, menurut Transtoto, "Peta yang dibuat dengan citra satelit adalah peta terburuk sedunia."
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Fadhil Hasan. Ia menyatakan, peta indikatif seperti sekarang dapat memicu variasi masalah lain di lapangan. "Misalnya, wilayah perkebunan ternyata di dalam peta tidak termasuk," katanya.
Hal itu dapat berimbas kepada masalah teknis seperti pengaturan pengairan untuk kebun kelapa sawit. "Kalau berubah, harus mengubah tata air," tutur Fadhil.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto mengatakan, pemerintah berusaha membenahi peta. Selain memperbarui peta setiap enam bulan, pemerintah berencana membuat peta dengan skala 1:250.000. "Tetapi ada daerah yang membuat dengan skala 100 ribu," katanya.
Meski demikian, Transtoto mengatakan ia dapat memaklumi kondisi pemerintah. "Kementerian Kehutanan tidak secanggih yang kita inginkan. Kami tidak mengkritik skala. Tapi pembuatan peta harus transparan," tuturnya.
Instruksi presiden diteken Susilo Bambang Yudhoyono pada 19 Mei lalu. Dengan izin ini, pemerintah memiliki waktu untuk penyempurnaan tata kelola hutan, baik dari segi izin maupun standar, termasuk upaya pengurangan emisi akibat perusakan hutan dan pemanfaatan lahan gambut.
ATMI PERTIWI