TEMPO Interaktif, Jakarta - Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) mendesak pemerintah segera melakukan revitalisasi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang tak memenuhi standar internasional. Revitalisasi ini untuk menjamin kelayakan konsumsi daging dan menanggapi ancaman dari Pemerintah Australia.
Ketua Umum PPSKI, Teguh Boediyana, menjelaskan di Jakarta, Kamis, 2 Juni 2011, kebijakan Australia yang menunda pasokan sapi ke sejumlah rumah potong menjadi masukan bagi pemerintah untuk menata ulang RPH tradisional. Pemerintah harus lebih serius menanggapi pernyataan penangguhan ekspor tersebut.
Selasa lalu, Pemerintah Australia menunda pengapalan sapi hidup sedikitnya ke-3 rumah jagal di Indonesia. Keputusan itu mengacu pada bukti yang ditayangkan dalam program ABC bertajuk "Four Corners", Senin lalu, 30 Mei 2011. Tayangan itu menunjukkan ternak dianiaya sebelum disembelih.
Namun, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengatakan kasus yang diangkat Pemerintah Australia ihwal cara penyembelihan sapi di Tanah Air sebagai politik dagang semata. "Ini masalah perdagangan biasa, politik dagang," kata Bayu awal pekan ini.
Desakan untuk melakukan revitalisasi rumah jagal sebenarnya sudah lama dilontarkan pengusaha. Ketua Komite Tetap Agribisnis Peternakan Kamar Dagang Indonesia, Juan Permata Adoe, mengatakan kewajiban pengawasan terhadap standar RPH menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Sementara, tanggung jawab pengawasan kesejahteraan hewan ada di Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. "Pemerintah sudah membangun sebelas RPH modern yang didanai OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). Tapi, entah kenapa tidak digunakan,” ujar Juan.
Rencana penangguhan pengiriman sapi, kata Teguh, harus menjadi pendorong untuk mewujudkan swasembada daging pada 2014 sehingga Indonesia tak bergantung pada impor. Namun, jika Australia menunda ekspor akan berimplikasi terhadap konsumen. “Konsumen Indonesia suka daging segar," ujarnya.
Impor sapi berkisar 35-40 persen dari kebutuhan nasional 506 ribu ton pada tahun ini. Jumlah itu berasal dari impor 600 ribu sapi hidup (bakalan) dan impor 72 ribu ton daging. Sisanya dari pasokan lokal. Perdagangan sapi hidup dari Australia ke Indonesia mencapai US$ 300 juta sepanjang tahun lalu.
Anggota Komisi Pertanian dan Perkebunan Dewan Perwakilan Rakyat, Ian Siagian, meminta Australia tak hanya mengeruk keuntungan dari ekspor sapi, tapi juga menanamkan investasi di dalam negeri. "Kita tak boleh takut dengan gertakan Australia. Kalau mereka gertak kita, ya kita gertak balik," ujarnya.
Tapi, Ian mengakui Indonesia masih memerlukan impor sapi dan daging untuk memenuhi kebutuhan lokal. Penangguhan ekspor dari Australia tentu akan membuat harga daging melonjak karena permintaan daging segar meningkat, sedangkan stok terbatas.
ROSALINA | BOBBY CHANDRA