"Banyak importir Indonesia yang mengalihkan pesanan ke Cina karena tak mau ambil risiko. Umumnya impor ikan makarel untuk dikalengkan," kata Ketua Umum Apiki Hendri Sutandinata di Jakarta, Senin, 23 Mei 2011.
Berkurangnya produksi ikan Jepang hingga 30 persen menyebabkan importir kekurangan pasokan bahan baku. Rata-rata kebutuhan tiap importir sekitar 1.000 ton per bulan. Tapi saat ini hanya bisa dipenuhi sekitar 500 ton.
"Karena itulah terpaksa kami mencari sumber dari negara lain seperti dari cina," ujarnya. Namun di sisi lain, akibat pengalihan sumber impor tersebut, harga ikan impor Cina jadi melambung tinggi, naik 30 persen.
Harga saat ini rata-rata mencapai US$ 1.200 per metrik ton, dari sebelumnya US$ 800 per metrkc ton. Pengusaha Indonesia banyak mengimpor ikan lemuru sebagai bahan baku pengalengan ikannya.
"Kalau untuk pengalengan, banyak impor ikan sarden dan lemuru. Karena sudah setahun ini tangkapan lokal di Selat Bali kosong. Untuk lemuru sekitar 95 persen kami impor," ujar Hendri.
Akibat harga impor ikan meningkat, menurut hendri, otomatis harga jual ikan kaleng di dalam negeri rata-rata ikut naik 10-15 persen.
Sementara itu, salah satu perusahaan pengalengan ikan, PT Bali Maya Permai juga mengaku kesulitan memasok kebutuhan ikan untuk bahan bakunya. "Karena pasokan bahan baku lokal tidak ada, terpaksa kami tutup dengan impor," kata Purchasing Manager PT Bali Maya Permai Oktavianus Yahyaputra.
Perusahaan itu mengimpor sarden dan Thailand. Untuk sarden, impor berasal dari Cina dan India, sedangkan makarel dipasok dari Jepang dan Thailand. "Sebenarnya impor karena terpaksa. Biaya impor tergolong mahal," katanya.
Oktavianus menyebutkan, untuk impor sarden harga yang harus dibayarkan US$ 700 per metrik ton. Sedangkan untuk impor makarel harganya US$ 900 per metrik ton. Rata-rata PT Bali Maya Permai mengimpor 20 kontainer sarden dan 5 kontainer makarel.
"Untuk sarden satu kontainer masing-masing isinya 28 ton. Untuk makarel satu kontainer masing-masing berisi 25 ton. Jumlah ini masih kurang dari kebutuhan, sementara kami tidak bisa penuhi semua," ujar Oktavianus.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Nikijuluw mengatakan, kebutuhan pasar dunia yang dipasok dari Jepang menurun 20-25 persen sejak bencana tsunami yang menghancurkan cold storage di beberapa provinsi penghasil ikannya.
Akibatnya, kata Victor, Jepang merelokasi industri pengolahan ikannya ke tiga negara yakni Vietnam, Cina, dan Thailand. Produksi ikan tangkap Jepang menurun 11 persen. Sedangkan ikan budidaya merosot hingga 17 persen.
Victor menyebutkan, Indonesia tak banyak mengimpor ikan dari Jepang. Sebab, ikan impor dari Jepang lebih banyak dikonsumsi untuk restoran dan hotel serta sebagai bahan baku industri pengalengan.
"Indonesia lebih banyak ekspor. Di antaranya ke Amerika sebesar 30 persen, sisanya ke Eropa dan berbagai negara termasuk Jepang. Nilai ekspor ikan Indonesia keseluruhan mencapai US$ 500 juta.
ROSALINA