Bupati Kapuas Provinsi Kalteng yang juga Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) cabang Kalteng, Mawardi, mengatakan keberadaan Inpres Nomor 10 Tahun 2011 itu tidak menguntungkan bagi daerah.
Memang, kata dia, keberadaan Inpres itu untuk melindungi kawasan hutan dan gambut tebal. Namun, kenyataannya kawasan gambut saat ini hanya mempunyai ketebalan di bawah 3 meter dan sudah menjadi sawah atau perkebunan. “Kalau itu dianggap APL (Areal Penggunaan Lainnya) dan tidak diperbolehkan untuk digunakan, ini jelas kontraproduktif dan kondisi di lapangan,” kata Mawardi, Senin, 23 Mei 2011.
Menurut Mawardi, kalau dikatakan kawasan hutan primer, di Kal-Teng tidak ada kawasan hutan primer karena semua lahan gambut di daerah ini adalah bekas lahan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan eks logging.
Oleh karena itu, kata dia, Inpres tersebut tidak masuk akal untuk diterapkan karena tidak sesuai dengan kondisi wilayah Kabupaten Kapuas. “Kalau itu tidak boleh, sama saja kita tidak membangun dan investasi tidak bergerak. Mendingan kita tidur aja, tak usah kerja dan tiap bulan terima gaji,” ujarnya.
Solusinya, terang Mawardi, sebaiknya Kal-Teng mengelola lahan eks HPH berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2003 tentang Tata Ruang Wilayah Kal-Teng.
Sebaliknya, Gubernur Kal-Teng Teras Narang menyatakan Inpres tersebut tidak mengganggu daerah karena spiritnya adalah untuk pembenahan. Oleh karena itu, kata dia, Inpres tersebut harus dilaksanakan.
“Moratorium adalah bagian yang memang diharapkan oleh Kal-Teng dan sekarang masalahnya bagaimana pelaksanaannya di lapangan,” ujarnya.
Teras menambahkan Inpres tersebut juga tidak menjadi kendala masuknya modal ke Kal-Teng. “Karena yang sudah memperoleh izin (HPH) tidak masalah, sementara yang belum berhenti dulu,” katanya. Menurutnya, justru Inpres Nomor 10 tahun 2011 bisa dijadikan momentum Kal-Teng untuk berbenah dan melakukan pengelolaan hutan secara baik.
KARANA WW