“Berapa persen penurunannya belum dapat disebutkan. Karena kami masih melihat seberapa besar dampak krisis Timur Tengah. Tapi biaya pengapalan diperkirakan naik kalau harga minyak mentah dunia naik,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Astuin Edy Yuwono kepada Tempo di Jakarta, Rabu, 18 Mei 2011.
Namun, mengacu pada data tangkapan tuna Asosiasi Tuna Longline Indonesia, tangkapan tuna periode Januari-Maret mencapai 520 ton. Jumlah itu turun 40 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu 832 ton. Indonesia mengekspor tuna segar ke Jepang, dan tuna olahan ke Uni Eropa dan Amerika.
Edy menambahkan, biaya bahan bakar yang mahal lambat laun memaksa nelayan dan pengusaha tuna mengurangi frekuensi pengoperasian kapal. Biaya bahan bakar menghabiskan 65-70 persen biaya total produksi. Satu kapal rata-rata melaut 6-9 bulan dengan kebutuhan solar 150-200 ton.
Direktur Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Apun Budhiman mengatakan, penurunan ekspor mungkin saja terjadi akibat perjanjian internasional dengan negara produsen tuna sirip biru, seperti Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Agus semakin khawatir pasar ekspor kian terpangkas akibat isu pembunuhan lumba-lumba yang diembuskan Earth Island Institute. Lembaga ini menuduh nelayan Indonesia membunuh lumba-lumba untuk umpan tangkapan tuna. Akibatnya, Uni Eropa mengancam tak membeli produk tuna Indonesia.
Menurut Agus, pemerintah tidak pernah menerbitkan beleid penangkapan lumba-lumba. Apalagi penangkapan lumba-lumba dinilai tak bernilai ekonomis. “Mungkin ada agenda khusus dari lembaga swadaya masyarakat asing untuk menghambat ekspor tuna Indonesia,” tuturnya.
ROSALINA