"Rencana para kepala negara yang akan menghapus krisis pangan hingga 50 persen akan sulit terealisasi," kata Ketua SPI Henry Saragih dalam diskusi krisis pangan, di Hotel Grand Cemara, Jakarta, Jumat, 6 Mei 2011.
Menurut dia, kedaulatan pangan harus menjadi otoritas penuh pemerintah demi kesejahteraan rakyatnya, bukan dibiarkan dalam satu mekanisme dan membiarkan sumber penghasil pangan diprivatisasi.
Di bawah rezim Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), masalah pangan sudah masuk ke mekanisme pasar. Pada 1995-2000 yang diperdagangkan hanya 10 persen, dan dari 2000 sampai sekarang yang diperdagangkan mencapai 30 persen.
Meski pemerintah mengklaim produksi makanan dan pertanian mengalami peningkatan, namun faktanya hasil komoditas pertanian kini tak lagi dikuasai petani, melainkan dikuasai perusahaan besar terutama, asing.
"Karena itu banyak perusahaan yang investasinya beralih ke sektor pertanian seperti kelapa sawit untuk mengasilkan produk-produk perdagangan dunia," kata Henry, menambahkan.
Hal senada dilontarkan pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Doni Mantra. Menurut dia, peranan negara dalam mengatur ketahanan pangan telah tergerus haknya oleh mekanisme pasar yang bebas dan kuat, sehingga krisis pangan terus melanda.
"Pasar menjadi tirani karena sudah merajalela dalam basis kehidupan manusia. Berbagai kebutuhan manusia digantikan oleh sistem pasar. Segala sesuatu dimodifikasikan menjadi barang yang dapat diperjualbelikan," ujar Doni.
Doni menjelaskan, sekitar 60 persen penerima bantuan beras miskin adalah petani yang notabene produsen pangan. "Bagaimana ini bisa terjadi jika bukan karena tatanan yang tergantikan tirani pasar," tuturnya.
Senior Research Associate Focus on the Global South India Afsar H. Jafri mengatakan kondisi pangan di India tak jauh beda dengan Indonesia. Sejumlah kebijaka di India yang pro liberalisasi pasar menyebabkan krisis pangan di negara itu.
India yang sebelumnya swasembada minyak nabati, saat ini malah menjadi importir minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia yang mencapai 50 persen dari total kebutuhan negara itu. "Padahal sebelumnya India penghasil minyak nabati," ujar Afsar.
Tak hanya itu, di saat negara mengklaim angka kelaparan menurun, 77 persen penduduk India hidup dengan penghasilan US$ 0,5. "Pada saat yang sama, pemerintah India mendorong FTA (perdagangan bebas) dengan peritel asing seperti Carrefour," kata Afsar.
ROSALINA