"Memang kemungkinan sudah ada, tapi tidak kuat," ujar ekonom spesialis makro ekonomi dan moneter Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty, Minggu (24/4).
Telisa membantah 4 indikator yang disebut IMF, yakni output relatif terhadap tren, output gap, pengangguran, dan inflasi.
Sebelumnya IMF menyebutkan, output relatif terhadap tren Indonesia berwarna merah. Artinya, ini menjadi peringatan Indonesia karena output berada di atas tren sebelum krisis global.
Padahal, menurut Telisa, membandingkan output dengan tren sebelum krisis mengandung asumsi bahwa tren merupakan keseimbangan full employment. "Apa pun metode pendugaannya, adalah salah menyamakan tren dengan full employment," ujarnya.
Kedua soal output gap yang juga disebut positif. Output gap positif adalah jika agregat demand melebihi output potensial. Artinya, permintaan lebih tinggi dari produksi, sehingga barang yang ditawarkan kurang.
Menurut Telisa, kondisi output gap ini tidak terjadi di Indonesia. Karena berdasar pengkajian yang dilakukan oleh Bank Indonesia, penggunaan kapasitas perusahaan atau pabrik di Indonesia masih sekitar 65-70 persen. Istilahnya, dari 10 mesin, baru 6-7 yang terpakai. "Kita belum menggunakan kapasitas produksi yang maksimal," katanya.
Telisa juga mengkritisi metodologi yang digunakan IMF. Lembaga internasional ini hanya menggunakan metodologi statistik tunggal Hodrick Presscott Filter. "Kita tidak boleh buru-buru memutuskan ini output gap positif," ujar Telisa. Untuk mengukur output gap dari perbandingan output potensial dengan permintaan, harus menggunakan kajian pendamping seperti yang dilakukan BI tadi.
Yang ketiga, soal pengangguran. Menurut IMF, pengangguran alami Indonesia sudah melebihi pengangguran umum. Telisa membantah hal ini. "Pengangguran kita masih di atas penggangguran alami," ujarnya memastikan.
Yang keempat soal inflasi. IMF melihat inflasi headline sudah 1,25 persen di atas inflasi sebelum krisis. Apalagi inflasi inti yang telah meningkat menjadi 3,75 persen dibanding periode sebelum krisis yang mencapai 2 persen.
Tapi, lagi-lagi menurut Telisa, inflasi headline selama 10 tahun terakhir di bawah histori inflasi. Apalagi, inflasi yang terjadi karena tradable goods atau barang-barang seperti baju, ponsel, yang diperdagangkan secara internasional dari luar. Padahal, syarat overheating adalah jika tingginya inflasi disebabkan oleh inflasi internal domestik, bukan dari tradable goods.
Faktor lainnya yang menggugurkan ramalan IMF ini adalah, current account atau neraca transaksi berjalan yang surplus. Current account merupakan ujung tolak ukur dari dugaan overheating. Overheating akan terjadi jika neraca transaksi berjalan terus defisit. "Currenct account surplus Indonesia memang semakin kecil, tapi belum sampai ke level defisit," katanya.
Poin terakhir, terkait pertumbuhan kredit. IMF menilai, akan terjadi credit boom. "Pertumbuhan kredit ini perlu diteliti lebih lanjut, tergantung pada jenis penggunaannya. Tidak hanya secara agregat," katanya.
Pertumbuhan kredit saat ini, kata Telisa, justru terjadi di kredit modal kerja. Sedangkan kredit konsumsi menurun. Penurunan kredit konsumsi ini merupakan sinyal negatif terhadap overheating.
Ihwal ramalan overheating ini, sebelumnya juga sudah dibahas IMF bersama BI dan bank sentral seluruh dunia awal Maret lalu. Jeffrey Frankel, Harpel Professor of Capital Formation and Growth Harvard University, menyajikan kajiannya dalam Global Economics Weekly publikasi 23 Februari 2011 kemarin, bahwa India, Cina, Indonesia, dan Singapura terancam mengalami overheating. Frankel juga yang menyatakan negara-negara berkembang akan mengalami krisis 7 tahunan pada 2012 nanti.
Soal prediksi overheating ini, Direktur IMF wilayah Asia Pasifik Anoop Singh tidak menyangkal bahwa overheating ekonomi akan menjadi tekanan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. "Tidak hanya Singapura atau Indonesia, kami melihat risiko everheating ini juga akan terjadi di Asia, tentu saja dalam kondisi yang berbeda-beda," katanya. Karena itu, sebagian besar negara di Asia menormalisasi kebijakan makro ekonominya lagi.
FEBRIANA FIRDAUS