Lonjakan harga minyak mulai dicemaskan sejak menyentuh US$ 90 per barel dan terus bergerak ke level US$ 100 per barel. Kondisi ini, menurut Fatih, tak menguntungkan negara pengimpor minyak. "Negara-negara seperti Jepang dan Indonesia akan mendapat implikasi negatif dari kenaikan harga minyak."
Krisis politik di negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah telah mendorong harga minyak naik. Dalam perdagangan kemarin, minyak jenis Brent menembus harga US$ 108 per barel, menyusul ketegangan politik di Libya. Adapun harga minyak jenis Light Sweet naik menjadi US$ 93,43 per barel untuk kontrak bulan depan dan US$ 97,41 per barel untuk April.
Dampak kenaikan harga, menurut Badan Energi Internasional, impor minyak mentah Indonesia bakal naik signifikan pada tahun ini. Biaya impor diperkirakan menyedot sekitar 2,7 persen dari produk domestik bruto. "Ini jelas sekali menambah beban Indonesia dan menyebabkan tekanan pada inflasinya.” kata Fatih. “Ini persoalan serius dalam perkembangan ekonomi. Jelas bukan berita bagus, baik untuk produsen maupun konsumen yang ada.”
Harga minyak yang terus meroket ini rupanya tak membuat pemerintah berubah pendirian. Pemerintah tak akan mengubah rencana membatasi penggunaan bahan bakar bersubsidi mulai April mendatang. Sebab, kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang P.S. Brodjonegoro, bila ditunda atau dibatalkan, rencana tersebut akan menghambat penghematan anggaran.
Dia memperkirakan, kenaikan harga minyak akan membuat beban subsidi pemerintah bertambah. "Namun, jika volume premium dibatasi, akan meredam laju kenaikan subsidi,” kata Bambang kemarin. Tahun ini pemerintah memberikan subsidi bahan bakar minyak Rp 95,9 triliun.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Herawati Legowo mengatakan, pihaknya masih mengamati perkembangan harga minyak. "Kami masih pantau dan ikuti terus.”
GUSTIDHA BUDIARTIE | EKA UTAMI APRILIA