Dalam paparannya yang disampaikan Kepala Biro Riset dan Pengembangan Bank Indonesia Sugeng menyebutkan, ada tiga faktor risiko inflasi di Jakarta. Pertama, ekpetasi masyarakat yang dinilai berperan terhadap inflasi. "Daya beli masyarakat Jakarta yang realtif kuat berperan dalam pembentukan harga," katanya, Kamis (23/12).
Kedua, harga sayuran di Jakarta yang dipengaruhi oleh pasokan. "Penentuan harga di daerah seringkali mengacu harga yang terjadi di pasar induk Jakarta," ujarnya.
Terakhir, harga eceran yang belum stabil. Untuk komoditas beras, hasil kajian kementerian perdagangan menyatakan harga eceran beras bulanan paling tidak stabil ternyata justru terjadi di Jakarta dibanding kota besar lainnya.
Atas faktor resiko tekanan inflasi ini, bank sentral merekomendasikan dua kebijakan. Kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek, pertama optimalisasi operasi pasar beras, pasar murah, dan inspeksi harga langsung di pasar. "Diharapkan dilaksanakan sebelum terjadi kenaikan harga, sebagai langkah preventif. Dan beras yang disalurkan sesuai dengan karakteristik konsumsi masyarakat setempat," ujarnya.
Kedua, penguatan strategis komunikasi. "Upaya mempengaruhi perilaku dan ekspetasi masyarakat melalui konferensi pers, khususnya menjelang peak season," katanya.
Ketiga, mengoptimalkan penyaluran beras untuk rakyat miskin (Raskin). Menurut BI, periode Oktober-Januari adalah masa paceklik, sehingga untuk meredam akselerasi kenaikan harga beras perlu untuk lebih mengintensifkan penyaluran Raskin.
FEBRIANA FIRDAUS