TEMPO Interaktif, Jakarta -Anggota Komisi Energi dan Lingkungan DPR RI Satya Widya Yudha menyarankan pemerintah mencari bahan bakar alternatif. Misalnya bahan bakar gas yang harganya hanya Rp 3.500 per liter. Sebagai langkah awal, mekanisme substitusi bahan bakar bisa diterapkan jika konsumsi BBM bersubsidi telah melebihi kuota dalam anggaran negara 2011 yaitu 38 juta kilo liter. "Pemerintah bisa menyediakan konverter pengganti dari BBM ke gas, yang saya rasa harganya tidak terlalu mahal ketimbang subsidi minyak secara keseluruhan," ujarnya.
Ia menilai pemerintah sebaiknya tidak memakai mekanisme kenaikan harga untuk menghemat subsidi bahan bakar minyak. Bahkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi sama saja dengan memaksa konsumen memakai BBM non-subsidi, yang 50 persen lebih mahal.
Harga BBM bersubsidi yang paling banyak dikonsumsi, Premium, saat ini Rp 4.500 per liter. Harga BBM non subsidi dengan oktan 93 atau terdekat dengan Premium, sekarang sekitar Rp 6.800 per liter. "Kalau memakai mekanisme harga, maka kenaikan inflasinya bisa luar biasa," katanya ketika dihubungi hari ini (8/12).
Pemerintah disarankan menaikkan harga bahan bakar untuk menghapus subsidi. "Dampak kenaikan harga pasti ada terhadap inflasi, tapi bisa ditekan dengan mengalokasikan subsidi bahan bakar sebesar Rp 80 triliun untuk orang miskin," kata ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Aviliani, kemarin.
Aviliani tak sepakat dengan rencana pembatasan konsumsi bahan bakar hanya di wilayah Jabodetabek atau berdasarkan tahun pembuatan kendaraan. “Mekanisme itu bisa menimbulkan disparitas harga, sehingga moral hazard terlalu besar.”
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto. Jika harga bahan bakar dinaikkan sebesar Rp 200-300 per liter, penghematan anggaran mencapai Rp 7-11 triliun. Pemerintah tidak perlu langsung menaikkan sesuai dengan harga keekonomian. “Yang penting, sesuai dengan obyek pemerintah, yaitu penghematan anggaran.”
SORTA TOBING