Dari situ, mi yang mudah dimasak ini menyebar ke jutaan dapur di seluruh dunia. Seperti dikutip BBC, penduduk Negeri Matahari Terbit menganggap mi instan sebagai temuan terbaik mereka sepanjang abad 20. Saban tahun, sekitar 94 miliar bungkus mi instan habis dilalap warga Bumi.
Indonesia tercatat sebagai negara ketiga dalam jumlah pengkonsumsi terbesar di dunia, dengan 14 miliar bungkus per tahun. Di bawah Cina yang menghabiskan 45 miliar bungkus, atau 48 persen dari total konsumsi dunia, dan di atas Jepang sebagai negara asal dengan 5,1 miliar.
Mi instan pertama di Indonesia adalah Supermie yang diluncurkan oleh Sudono Salim pada 1971, yang berkongsi dengan perusahaan Jepang. "Awalnya tidak berkembang karena masalah selera," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Industri Pangan, Boediyanto kepada Tempo, Selasa (12/10).
Perlahan tapi pasti, Supermi mulai memasyarakat. Hingga 1980-an, Supermi menjadi sebutan umum bagi mi instan, meski merk lain sudah beredar, seperti Indomie.
Mi yang juga diproduksi oleh pengusaha Sudono Salim ini pertama nongol pada 1981. Bisnis Salim mulai menggurita dengan membeli merk-merk pesaing seperti Sarimi pada 1984, sekaligus mendirikan PT Indofood CBP Sukses Makmur. Menyusul Supermi pada 1987.
"Sejak itu mi instan berkembang pesat seiring tumbuhnya kelas pekerja dan mahasiswa," kata Boediyanto. Pria yang pernah berkarir 15 tahun di PT Indofood sebelum pindah ke PT Sentra Food Indonesia ini mengatakan mi instan cocok sebagai pengisi perut di waktu yang sempit. "Selain harga yang murah," ujarnya.
Dengan harga rata-rata Rp 1500, dia melanjutkan, Indomie cs merupakan mi instan termurah di dunia. Sebagai perbandingan mi instan buatan Taiwan harganya sekitar Rp 5000 dan di Jepang Rp 15 ribu per bungkus. "Tentu dengan kualitas di atas mi buatan kita," kata Boediyanto.
Di Indonesia, mi instan pernah dijual dengan "subsidi", yaitu pasca krisis moneter antara 1998 sampai sekitar 2001. Waktu itu, dia melanjutkan, harga gandum sebagai bahan baku utama mi meroket sampai empat kali lipat karena kejatuhan rupiah. Maklum, kebutuhan gandum dipenuhi dengan impor. Sementara, karena daya beli anjlok, harga mi instan hanya naik dua kali lipat dari Rp 250 jadi Rp 500 perbungkus. "Sehingga produsen menjual tanpa untung," katanya.
Menurut Boediyanto, Indomie menguasai 75 persen pasar mi instan. Bahkan pernah mencapai 90 persen pada 1999. Penguasaan pasar Indomie sedikit turun dengan kehadiran Mie Sedaap buatan PT Wings Food pada 2003, yang melonjak ke posisi kedua. "Karena kampanye iklan yang besar," katanya.
Posisi tiga diduduki Sarimi. "Sisanya seperti ABC, Mie Gaga, dan Alhami kecil, masing-masing sekitar dua persen," kata Boediyanto.
Setelah menguasai pasar dalam negeri, Indomie mulai merambah pasar antar-negara, sejak 20 tahun lalu. Bahkan Indomie juga membuka pabrik di Nigeria, Afrika Selatan, dan Arab Saudi. "Indomie bisa dikatakan mewakili Indonesia di luar negeri," kata Boediyanto.
REZA M | Wikipedia