Menurut Direktur Bina Hutan Alam Kementerian Kehutanan, Listya Kusumawardani, pihaknya menargetkan peningkatan industri primer hasil hutan kayu bersertifikat sebesar menapai 50 persen. Untuk mendapatkan produk kayu bersertifikat pengusaha perlu melakukan cara yang ramah lingkungan dalam proses perolehannya. Salah satunya dengan memiliki sertifikat untuk hutan yang dikonsesi.
"Pada 2010 -2014 ada beberapa target sasaran Kementerian Kehutan yaitu meningkatkan HPH 50 persen. Kami juga menargetkan tercapainya sertifikat pada 50 unit HPH. Serta meningkatnya industri primer hasil hutan kayu sebesar 50 persen," ujar Listya dalam acara penandatanganan kerjasama The Borneo Initiative Foundation di Jakarta Senin (28/6).
Untuk meningkatkan pengelolaan hutan Indonesia, Listya menjelaskan, Kementerian Kehutanan telah menyiapkan standar untuk menilai HPH dan Hutan Tanam Industri (HTI) yang tertuang dalam sertifikasi wajib yakni sertifikasi Pengelolaan Hutan Produk Lestari (PHPL). "Menteri Kehutanan sudah meneribitkan landasan hukum penilaiannya," tuturnya.
Sertifikasi PHPL sudah dimulai sejak 2009. Dimana ada 13 lembaga penilai yang bisa digunakan pemilik konsesi hutan untuk menilai hutan yang mereka kelola. Sampai saat ini, sudah ada 15 unit HPH yang memiliki sertifikat mandatory atau PHPL dari Kementerian Kehutanan.
Sebelumnya, keinginan membuat sertifikasi wajib itu sempat diprotes pengusaha karena sulitnya memperoleh sertifikat. Tapi hal tersebut saat ini sudah dipermudah oleh Kementerian Kehutanan agar ke depannya semakin banyak lagi HPH dan HTI yang bisa mendapatkan sertifikat wajib itu.
Salah satu rencana Kementerian Kehutanan untuk mempermudah perolehan sertifikasi wajib tersebut, salah satunya dengan menanggung dana yang diperlukan untuk penilaian HPH dan HTI yang ada. Rencana pendanaan itu akan dimulai pada 2011.
Bagi pemegang konsesi HPH dan HTI yang belum pernah dinilai untuk sertifikasi oleh Kementerian Kehutanan maka dana akan ditanggung pemerintah. Namun bagi yang sudah dinilai namun hasilnya masih belum baik maka ujian penilaian berikutnya akan ditanggung oleh pemegang izin konsesi.
"Mulai 2011 dana untuk penilaian HPH dan HTI ditalangi Kementerian Kehutanan. Penilaian yang dilakukan hasilnya hanya dua, baik dan buruk. Kami hanya memberikan sertifikasi kepada HPH dan HTI yang mendapatkan hasil baik. Untuk mendapatkan hasil baik HPH dan HTI tidak bisa melakukan pembenahan dalam satu minggu. Dari awal dia harus memelihara hutan secara lestari," kata Listya.
Dengan adanya perjanjian kerjasama antara delapan unit pemilik HPH dengan The Borneo Initiative (TBI) itu, menurut Listya, akan membantu pengusaha menyadari pentingnya sertifikasi. Walaupun sertifikasi yang diberikan TBI merupakan sertifikasi internasional namun jika perusahaan sudah memiliki sertifikasi itu maka kemungkinan mendapatkan sertifikasi dari pemerintah pun akan lebih besar.
"Sama saja dengan perolehan sertifikasi yang berstandar internasional. Walau berbeda namun kalau sudah memiliki sertifikasi internasional maka tidak sulit bagi mereka mendapatkan sertifikasi PHPL," katanya.
Listya berharap agar The Borneo Initiative tidak hanya menggandeng pengusaha-pengusaha pemilik konsesi HPH yang besar. Dia pun menginginkan agar TBI juga dapat membantu HPH-HPH kecil agar dapat memperoleh sertifikasi.
"Saya lihat disini perusahaan-perusahan yang kuat, yang mereka sudah memegang sertifikat mandatory. Saya minta TBI bantu promosikan sertifikasi PHPL. Di Sulawesi itu harus kita dorong. Disana jarang sekali, bahkan tidak ada yang pegang sertifikat. Masih ada sekitar 30 juta hektare kita yang belum mendapatkan pengawasan," tuturnya.
MUTIA RESTY