Tawaran tersebut disampaikan pemerintah Cina dalam pertemuan komisi bersama Indonesia-Cina yang digerlar awal April lalu. Dalam pertemuan itu, pemerintah menyepakati pembentukan Joint Working Group untuk menganalisa data dan informasi perdagangan dua arah.
Menurut Hidayat, prioritas utama pemberian pinjaman akan akan diberikan untuk sektor industri besi dan baja, tekstil dan produk tekstil, serta sepatu dan alas kaki. Ketiga sektor ini mencakup 80 persen dari 228 pos tarif sesuai perjanjiann dalam perdagangan bebas ASEAN-Cina (ACFTA).
Awalnya pemerintah berniat menegosiasi ulang 228 pos tarif tersebut karena dianggap tidak mampu bersaing dan dikuatirkan akan jatuh di tengah persaingan dengan Cina.
Tawaran pinjaman lunak dari Cina bisa dimanfaatkan oleh industri tekstil dan sepatu alas kaki untuk memperkuat daya saing dan meningkatkan ekspor ke Cina. Namun bagi industri baja, tawaran ini dinilai asosiasi bukan soluasi tepat.
Alasannya, produksi besi dan baja lebih diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri daripada ekspor. "Perwakilan asosiasi baja lebih memilih alternatif pembentukan komite dengan anggota Kementerian Perindustrian, Kementrian Perdagangan dan Asosiasi Aaja," tuturnya.
Komite ini akan memonitor produk impor dari Cina, terutama produk berkualitas rendah. Lalu mengambil langkah penanggulangan melalui penerbitan kebijakan pengamanan industri baja di dalam negeri.
Kebijakan yang sudah diterapkan sampai saat ini misalnya pemberian insentif fiskal berupa bea masuk ditanggung pemerintah (BM-DTP) kepada industri alat berat, pembangkit listrik tenaga uap, kawat ban, karpet, dan bolpen.
KARTIKA CANDRA