"Mereka harus menyesuaikan dengan prioritas kita," ujar Armida dalam konferensi pers di Gedung Bappenas, Jakarta, Senin (8/2). Armida pun mengharapkan istilah "donor" tak lagi digunakan. Istilah yang lebih pas adalah "mitra pembangunan." "Ini karena pemerintah menekankan pada kemitraan yang setara dan kerjasama yang lebih erat," kata dia.
Keinginan pemerintah tersebut tertuang dalam Komitmen Jakarta yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia pada 12 Januari 2009 dan diadopsi oleh 26 mitra pembangunan, diantaranya Jepang, Australia, Belanda, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia.
Melalui Komitmen Jakarta, diharapkan pemerintah yang akan memegang kendali terhadap dana hibah atau pinjaman yang diberikan mitra pembangunan. “Mereka (kreditur) hanya berkontribusi pada program yang sudah kita canangkan. Misalnya, mereka ingin membantu dalam pendidikan, atau perubahan iklim, atau kemiskinan, maka mereka harus ikut program dan skema kita. Tempat di mana-mananya juga sudah kita tentukan,” ujar Armida.
Sekretaris Kementeriaan Negara PPN/Bappenas, Syahrial Loethan, mengatakan sampai saat ini 40 persen total hibah dan pinjaman luar negeri masih berupa pinjaman dengan persyaratan ketat. Dalam skema ini, meski bunga lunak, biasanya kreditur memberikan aturan dan syarat teknis dalam pelaksanaan proyek yang akan dikerjakan. Semua teknis pengerjaan proyek diatur kreditur termasuk material, desain, dan tenaga kerja.
Namun, untuk dua tahun ke depan, pemerintah menargetkan untuk bisa terbebas dari persyaratan ketat sehingga tidak ada lagi aturan yang mengikat, baik dalam pinjaman maupun hibah. Ia menekankan bahwa Komitmen Jakarta ini dibuat agar mitra pembangunan dapat mengikuti tata cara yang telah diatur oleh pemerintah. "Kita bukan berharap pada uangnya, tapi tata cara kita yang diikutin," tambahnya. "2012 kita yang ada di depan setir," kata dia.
NALIA RIFIKA