Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

SOFJAN WANANDI: FTA Bisa Menjadi Persoalan Politik

image-gnews
Tempo/Tony Hartawan
Tempo/Tony Hartawan
Iklan

TEMPO Interaktif, Jakarta - Kesepakatan perdagangan bebas atau ASEAN-China free trade agreement (FTA) telah diberlakukan sejak awal tahun ini. Negara-negara ASEAN dan Cina sepakat untuk memperdagangkan produk-produknya tanpa bea masuk. Kesepakatan ini menyulut gejolak di dalam negeri, terutama para buruh dan pengusaha.

Mereka khawatir industri dalam negeri akan terlibas serbuan produk Cina, yang harganya lebih murah atau lebih berkualitas daripada produk lokal. Jika industri tidak berkembang atau lebih buruk, buruh akan menjadi korban yang paling menderita akibat kesepakatan itu. Karena itu, dalam beberapa pekan terakhir, buruh-buruh di berbagai daerah menentang kesepakatan ini.

Membatalkan kesepakatan itu tidak mungkin. "Impossible," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi. Tapi, menurutnya, banyak cara untuk menjaga agar kekhawatiran itu tidak terjadi. Kamis pekan lalu, Sofjan memaparkannya kepada Tempo di kantor Apindo yang baru di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.


Indonesia sudah merasakan dampak FTA?
Belum. Barang-barang Cina yang kita gunakan sehari-hari, seperti garmen tekstil, dan alat-alat telekomunikasi, masuk ke Indonesia jauh sebelum ada FTA. Dengan FTA, artinya biaya masuk nol, itu lebih berbahaya. Sebagian besar barang Cina yang masuk tidak legal. (Mereka) tidak membayar bea masuk, tidak membayar pajak pertambahan nilai (PPN). Kami tidak bisa bersaing, harganya murah-murah.

Selain karena ilegal, apa yang membuat mereka bisa menjual produk dengan murah?
Pertama, infrastruktur mereka. Kedua, kalau ekspor, bunganya 3-6 persen. Di sini bunga 12-15 persen. Pemerintah (Cina) memberikan kredit ekspor. Kalau ekspornya lebih banyak, pajaknya juga dikurangi banyak. Produktivitas buruh di Cina juga luar biasa tingginya. Kalau kita bikin 10 (produk), dia bisa bikin 20 (produk). Kalau kita (perlu) dua orang, dia cukup satu. Padahal gaji buruh di Cina dengan kita hampir sama. Lebih tinggi mereka sedikitlah.
Size (ukuran) produksinya besar sekali. Dia memproduksi barang untuk satu miliar orang, ditambah untuk negara lain 200-300 juta orang. Nambah (produksi) sedikit saja, cost-nya turun.
Pemerintah Cina menstimulus industrinya dengan mengganti semua mesin tua di pesisir utara dekat Hong Kong dengan mesin paling modern. Mesin tua dipindahkan ke pedalaman, yang (upah) buruhnya masih murah. Teknologi modern dipakai untuk garmen, tekstil, dan segala macam. Mereka juga mampu memproduksi semua komponen dalam negeri. Kita sebagian besar masih impor komponen. Otomotif impor, mesin tekstil impor.

Artinya, kita tidak mungkin berkompetisi dengan Cina?
Lupakan saja. Seluruh dunia sudah tidak tahan. Jepang, Korea, Amerika, Eropa, apalagi Indonesia. Semua memberikan proteksi terhadap barang-barang Cina melalui macam-macam cara, terutama melalui standar nasional industrinya. Barang tidak bisa masuk kalau tidak memenuhi standar kualitas mereka. Di Indonesia ini, yang masuk barang rongsokan semua.
Jangan tanya berapa produksi dan harga kepada Cina. Mereka akan tanya, berapa kamu punya duit. Kalau kita punya uang Rp 10 ribu, dia bikin barang seharga itu. Kalau mau barang yang berkualitas, dia juga bisa bikin. Kalau di sini harga murah, tapi enam bulan rusak. Ini yang membuat kita rusak.

Kita tidak bisa bersaing dengan membuat barang lebih baik?
Tidak bisa. Rakyat kita yang penting (harganya) murah. Misalkan, BlackBerry seharga Rp 2,5 juta, Cina bisa bikin seharga Rp 650 ribu meski rusak dalam enam bulan. Semua (barang) bisa masuk, rusaklah semua. Sampah bisa masuk karena tidak ada quality control-nya, kita tidak ada SNI (Standar Nasional Indonesia). Kita harus membuat SNI secepatnya untuk semua barang yang masuk ke Indonesia.

Selama ini barang yang masuk tidak disesuaikan dengan SNI?
Tidak ada, sedikit sekali (menurut Franky Sibarani, anggota Apindo, kurang dari 100 item). Untuk menentukan SNI, kami meminta pemerintah bersama swasta menentukan standardisasi yang cocok buat Indonesia. Itu bisa dilakukan karena setiap industri memiliki laboratorium sendiri-sendiri. Misalkan telekomunikasi, perintahkan saja Telkom bikin standardisasinya. Tidak usah terlalu tinggi, tapi kualitasnya oke. Kalau baja misalkan Krakatau Steel, kalau makanan bisa Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan).

Sebenarnya banyak cara membuat filter?
Kita punya standar untuk segala industri. Industri-industri besar suruh membuat standardisasi untuk mencegah masuknya barang-barang yang tidak baik. Kementerian Perindustrian bisa (melakukan itu).
Kementerian Perdagangan menentukan surcharge-nya. Kalau sudah bisa menentukan sesuatu yang bisa mematikan industri kita, (kementerian) bisa langsung menaikkan, memperkuat antidumpingnya. Bujet antidumping kita hampir tidak ada, hanya Rp 4 miliar per tahun.
Memperkuat Badan POM untuk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik. Memperkuat karantina untuk barang-barang pertanian kita supaya penyakit-penyakit juga tidak bisa masuk, seperti buah-buahan jangan seenaknya masuk.
Kita bisa lakukan, itu hak kita. Dalam WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), itu boleh. Kalau dia akan menghancurkan industri kita, kita kasih surcharge-nya, dia tidak bisa apa-apa. Kita bisa lihat berapa banyak dia bawa masuk barang, data itu kan mesti ada di Bea-Cukai atau Kementerian Keuangan. Alasan kita (memproteksi), produk itu telah mengganggu industri dalam negeri.

Bagaimana dengan selain Cina?
Untuk melawan dunia, pemerintah harus meng-hire lawyer yang bagus, punya counter, memiliki pengalaman untuk menyatakan bahwa itu antidumping yang bisa merusak industri. Waktu kita ribut dengan Brasil soal tekstil, 75 persen bujet sudah habis. (Padahal) cuma satu barang dikenai antidumping. Bagaimana kita (mau) melawan dunia? Ada Turki, Eropa?

Selama ini tidak dilakukan?
Tidak serius, masuk saja. Bea-Cukai juga harus memperketat barang-barang Cina. Pajak harus benar-benar jalan supaya dia benar-benar bayar PPN. Jangan kita bayar PPN, dia tidak. Mereka kasih langsung ke kaki lima. Mana ada pedagang kaki lima yang punya NPWP (nomor pokok wajib pajak). Itu saja sudah bisa bikin hancur negara kita.

Bagaimana kalau mereka membalas?
Dalam forum WTO, boleh memproteksi. Kalau bermain di luar forum WTO, akan dibalas. Seperti yang terjadi pada kasus melamin yang kita bikin gila-gilaan. Giliran (barang) mereka (kita) keep, (mereka) langsung cegah masuknya ikan-ikan kita. Malah kita yang rugi.
Mereka punya kemampuan itu karena besar. Kita perlu dia, dia juga perlu kita. (Neraca) trade kita dengan Cina hampir US$ 35 miliar, ekspor dan impor. Meski kita rugi, tahun lalu kita defisit US$ 1 miliar. Defisit akan bertambah karena semua komponen masuk ke sini. Kita dibodoh-bodohi.

Untuk jangka panjangnya?
Jangka panjang, kita harus membereskan infrastruktur. Ini yang membuat industri kita masih high cost, (pasokan) listrik masih kurang. Dalam lima tahun ini, kita hanya membuat jalan tol 120 kilometer. Sedangkan Cina membuat jalan tol dalam satu tahun 15 ribu kilometer. Bagaimana akan bersaing? Belum lagi pelabuhan, bandara. Pembebasan tanah kita tidak bisa, kalau Cina semua tanah milik pemerintah.
Kita tak punya infrastruktur, birokrasi membuat high cost economy, kami diminta macam-macam, digangguin. Buruh malas-malas. Belum lagi soal tata ruang, hubungan pusat-daerah. Ini semua membuat high cost sehingga membuat kita tidak bisa bersaing, terutama manufaktur.

Apa komoditas kita yang paling bisa bersaing?
Natural resources based. (Tapi) kita tidak boleh menjual mentah, harus ada added value-nya. Benar-benar finished goods. Bukan menjual gasnya, tapi kita impor elpiji. (Sekarang) kita ekspor minyak mentah, kita impor minyak jadi. Kita ekspor kakao mentah, kita impor cokelat. Ini tidak boleh lagi.

Agar bisa bersaing hanya perlu menambah added value itu?
Begini, ya, kalau ingin bersaing di dunia internasional, (kita) membutuhkan perusahaan besar. Saya mendukung pengusaha kecil-menengah.

Tapi di sini kebanyakan perusahaan besar milik asing....
Itu yang saya tidak mau. Perusahaan besar harus dibina kembali. Sebab, perusahaan besar juga tidak gampang mendapatkan kredit. Pikirkan juga pemerataan UKM (usaha kecil-menengah) karena tidak ada jalan lain untuk bekerja. Selama ini perusahaan besar tidak dibina sehingga lama-lama asing masuk.
Di tekstil, pemain-pemain besar Indonesia lama-lama pindah ke properti, tidak ada investasi baru ke mesin-mesin mereka, karena mereka takut untung sedikit melawan Cina. Ada sebagian pengusaha kita yang membuat pabriknya di Cina. Dia ekspor ke sini, didistribusikan dengan merek-merek dia (Cina). Produksinya di Cina karena lebih murah.

Soal buruh, bagaimana meningkatkan produktivitasnya?
Hanya melalui training, kami sudah lakukan itu. Kami sudah tetapkan standar produktivitas untuk industri-industri itu. Kami bandingkan produktivitas di Jepang, India, Vietnam, Malaysia. Kami bandingkan apple-to-apple, bagaimana kapasitas produktivitas buruh-buruh kita dengan negara lain.

Bagaimana "menahan" pengusaha agar tidak kabur?
Pengusaha tidak bisa dicegah. Di mana produksi lebih untung, dia akan produksi di sana, lama-lama mereka produksi di sana semua. Di sana pengusaha dapat bunga (kredit) kecil. Infrastruktur sudah ada. Di sini tidak ada infrastruktur. Masukin barang, diganggu birokrasi, diganggu preman, capeklah.
Lama-lama pengusaha berpikir, ngapain pusing? Akhirnya main saham, sukuk, taruh (uang) di SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Taruh saja di bank karena bunga tinggi. Karena itu, hot money dari luar negeri ke sini karena di sana bunga maksimal 1 persen, di sini bisa dapat 7 persen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itu memerlukan waktu lama....
Ya, itu jangka panjang. Yang paling menakutkan adalah unemployment. Sebab, yang paling kena (dampak) adalah pengusaha kecil-menengah dulu. Kami yang besar-besar ini, terus terang, bisa survive karena industri kami sudah dibangun 20-30 tahun lalu.
Kami berkelahi hanya dalam hal working capital. Kalau kami mesti investasi baru lagi, tidak mungkin kita bisa bersaing kembali. Saya harus beli mesin-mesin baru, menekan bunga, wah, tidak mungkin bisa bersaing.

Sektor kecil paling terpukul?
Ya, itu yang paling terpukul. Anda lihat batik-batik cetak masuk harganya Rp 10-15 ribu. Enggak tahu apa yang akan dilakukan. Krakatau Steel, yang sudah diproteksi 50 tahun, tidak bisa apa-apa. Kalau kami yang besar-besar, karena bersaing di variabel cost, bukan di fixed cost, masih bisa berjuang.
Kalau (produk impor) dibiarkan sampai masuk kabupaten/kota, wah, mati kita. Mesti dibatasi, tidak boleh mereka masuk sampai ke sana. Jepang saja tidak ada.

Dulu pernah ada proteksi semacam ini, masih berlaku sampai sekarang?
Masih boleh. Kita bisa mengaturnya melalui Undang-Undang Perdagangan. Lha wong domestic market itu urusan dalam negeri kita. Masih bisa diprotek.
Saya juga kurang setuju bank-bank asing punya cabang sampai di desa. Tidak ada untungnya buat kita. Dia ambil dana dari rakyat kita, dibawa ke (kantor) pusat lagi, enggak ada yang balik ke mereka (warga desa). Di sini, dia main-main di sukuk. Rakyat di daerah tidak mendapatkan hasil dari itu. Balik ke pusat lagi, tidak membangun daerah.

Sudah menyampaikan soal proteksi kepada pemerintah?
Beberapa kali. Paling tidak, untuk kabupaten ke bawah, (perusahaan asing) tidak boleh masuk. Bukan karena nasionalisme sempit, tapi kasih kesempatan rakyat untuk berdagang. Jangan jadi budaknya asing. Cuma, kita harus tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.

Untuk itu perlu renegosiasi?
Tidak perlu, tidak ada urusan (dengan) luar negeri, ini urusan dalam negeri.

Pemerintah daerah boleh memproteksi sendiri?
Cantolannya mesti undang-undang. Sekarang lagi dibuatkan Undang-Undang Perdagangan, akan coba dibuat proteksi. Undang-Undang Perdagangan kita belum punya, yang ada undang-undang lama.

Terlambat sekali, ya?
Ya, terlambat, tapi daripada kita hancur, perlu dibuat. Untuk jangka pendeknya, kita mencegah damage (kerusakan) yang paling banyak dari masalah FTA ini. Paling tidak, 3-5 tahun ini kita harus menyiapkan jangka pendeknya. Hanya, tidak gampang mengkoordinasi. Misalkan apa yang dilakukan Bank Indonesia untuk meminimalisasi efek FTA, sikap pengusaha, ini minta ini, ini minta itu. Satu sama lain masih belum terkoordinasi baik.
Kalau FTA ini tidak (ditangani hingga) beres, akan menjadi persoalan politik. Lebih berbahaya karena (berhubungan) dengan pengangguran.

Buruh yang kena....
Ini sudah terjadi. Dulu menteri bikin kebijakan lima produk yang diproteksi. Di pelabuhan, barang tertentu dilarang masuk. Sebelumnya berhasil, kapasitas produksi kita naik karena barang-barang asing tidak bisa masuk. Sebelum Lebaran, (produk asing) masuk (lagi) gede-gedean. Lima produk Cina (di antaranya) makanan, tekstil, sepatu, elektronik masuk semua. Kebijakan kita hangat-hangat tahi ayam.

Penundaan sudah tidak mungkin lagi, apa yang paling krusial yang harus dilakukan?
Kita cuma bisa renegosiasi lagi 220 item. Kita klasifikasikan yang sensitif, supersensitif, tapi ini pun tidak gampang. Kami sudah kasih input ke pemerintah, apa yang terjadi di masing-masing item. Banyak cara memperkecil dampaknya.
Industri padat karya diproteksi dulu, industri kecil, terutama yang berhubungan dengan tekstil, garmen, makanan dan minuman. Barang pertanian semua bisa diproteksi.

Negara yang paling ketat memproteksi produknya?
Jepang, Korea, Eropa membuat berbagai cara untuk memproteksi, Amerika Serikat mulai ikut. Kalau Vietnam, barang-barang yang tidak diperlukan dilarang masuk.

Produk apa yang sering diproteksi?
Barang-barang yang bikin rakyatnya tidak bekerja jika ada gangguan (terhadap) kekuatan industri negaranya. Vietnam kekuatannya di tekstil. Kita harus pintar dan mencontoh negara-negara lain dalam memproteksi industri dalam negerinya. Prancis mampu menciptakan hambatan bagi barang yang masuk. Akibatnya, produsen barang akan resisten sendiri untuk ekspor ke sana.


BIODATA

Nama: Sofjan Wanandi
Lahir: Sawahlunto 3 Maret 1941
Pendidikan:
Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung, 1961-1962
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1962-1967

Pekerjaan:
Anggota DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong), 1967-1971
Asisten Staf Pribadi Presiden Soeharto, 1968-1974
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, 1967-1987
Presiden Direktur Pakarti Yoga Group, 1996-1999
Chairman Gemala Group, 1999-sekarang
Anggota Direktur Centre for Strategic and International Studies

Organisasi:
- Ketua Dewan Pengembangan Bisnis Nasional, 1999-2000
- Anggota Dewan Internasional Asia Society, 1995- sekarang
- Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, 2003-sekarang

Istri: Riantini Sutedja, anak tiga

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Bos Apindo Kepri Curhat ke Zulhas: FTZ Batam Seperti Dikebiri, Banyak Regulasi yang Membatasi..

18 Desember 2023

Pengurus Apindo Kepri foto bersama dengan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan di Batam, Ahad 17 Desember 2023/ Yogi Eka Sahputra
Bos Apindo Kepri Curhat ke Zulhas: FTZ Batam Seperti Dikebiri, Banyak Regulasi yang Membatasi..

Kepada Mendag Zulkifli Hasan atau Zulhas, bos Apindo Kepri mengeluhkan kondisi FTZ Batam saat ini yang seperti tengah dikebiri. Apa maksudnya?


KPK Bakal Tetapkan Tersangka di Kasus Pengaturan Cukai Rokok di Tanjungpinang

11 Agustus 2023

Juru bicara KPK, Ali Fikri, memberikan keterangan kepada awak media, di gedung KPK, Jakarta, Senin, 15 Mei 2023. Ali Fikri menyatakan bahwa KPK telah melakukan penyidikan pengembangan dugaan kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung RI, dengan menjadwalkan pemanggilan dua orang pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka baru yaitu Sekretaris MA, Hasbi Hasan dan pihak swasta untuk memenuhi panggilan penyidik menjalani pemeriksaan diharapkan keduanya bersikap kooperatif pada Rabu (17/5). TEMPO/Imam Sukamto
KPK Bakal Tetapkan Tersangka di Kasus Pengaturan Cukai Rokok di Tanjungpinang

KPK akan melakukan penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi soal pengaturan barang kena cukai dalam pengelolaan


Perusahaan AS Powin LCC Tertarik Investasi Industri Semikonduktor di Batam

21 Juli 2023

Gedung-gedung tinggi berjejer di Batam Center Kota Batam. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
Perusahaan AS Powin LCC Tertarik Investasi Industri Semikonduktor di Batam

Perusahaan ramah lingkungan asal Amerika Serikat Powin LCC tertarik membenamkan investasi di Batam.


Melihat Gelaran Tokyo Drift Ala Batam di Area Mirip Parkiran Mal

14 September 2021

Tokyo Drift ala Batam. (Foto: Tik TOk/@mudamudi.batam)
Melihat Gelaran Tokyo Drift Ala Batam di Area Mirip Parkiran Mal

Baru-baru ini media sosial dihebohkan lewat aksi gelaran mirip Tokyo Drift di wilayah Batam, Kepulauan Riau, Indonesia.


KPK Sita 3 Kardus dan Satu Koper Dokumen Soal Cukai Rokok dari Kantor FTZ Bintan

2 Maret 2021

Anggota KPK saat membawa dokumen dari Kantor BP FTZ Bintan, Senin malam 1 Maret 2021. ANTARA/Nikolas Panama
KPK Sita 3 Kardus dan Satu Koper Dokumen Soal Cukai Rokok dari Kantor FTZ Bintan

KPK menyita sejumlah dokumen yang diduga berkaitan dengan cukai rokok dari kantor Free Trade Zone Kabupaten Bintan


PTA Diteken, Mozambik Janjikan Free Trade Zone untuk Indonesia

28 Agustus 2019

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bertemu Perdana Menteri (PM) Mozambik Carlos Agostinho do Rosario di Kantor Perdana Menteri, Kota Maputo, Mozambik, Rabu 28 Agustus 2019. TEMPO/Eko Ari Wibowo
PTA Diteken, Mozambik Janjikan Free Trade Zone untuk Indonesia

Setelah PTA diteken, Pemerintah Mozambik menjanjikan kemudahan bagi investor Indonesia masuk dengan free trade zone


Ini Janji Kepala BP Batam untuk Pulihkan Kejayaan Batam

19 Oktober 2017

Lukita Dinarsyah Tuwo. TEMPO/Subekti
Ini Janji Kepala BP Batam untuk Pulihkan Kejayaan Batam

Kepala BP Batam Lukita Dinarsyah Tuwo berjanji mengembalikan kejayaan Batam, termasuk menaikkan pertumbuhan menjadi 7 persen.


Pemerintah Buat Kantor Khusus di Batam untuk Tarik Investor

28 Juli 2015

Pulau Puteri, Batam. ANTARA/Joko Sulistyo
Pemerintah Buat Kantor Khusus di Batam untuk Tarik Investor

Pemerintah akan menyelesaikan persoalan zona perdagangan bebas, dan kawasan industri di Batam, Bintan, dan Karimun agar dapat menarik investor


Langkah Strategis Perlu Hadapi Trade Promotion Authority

1 Juli 2015

Langkah Strategis Perlu Hadapi Trade Promotion Authority

Indonesia Siapkan langkah strategis pasca pengesahan perpanjangan regulasi tentang Trade Promotion Authority (TPA) oleh Kongres Amerika Serikat.


Jatim Usulkan Perda Standardisasi Produk Asing

8 Mei 2014

Gubernur Jawa Timur Soekarwo. TEMPO/Hendriyanto
Jatim Usulkan Perda Standardisasi Produk Asing

Setiap dokter, khususnya yang masuk ke Jawa Timur, akan disaring. Mereka harus bisa berbahasa Indonesia plus Madura.