Sebab itu, dia mengaku menolak diberlakukannya blanket guarantee pada masa-masa krisis global 2007-2008. Saat itu, persoalan itu memang diperdebatkan karena beberapa negara tetangga telah menerapkan penjaminan penuh.
“Blanket guarantee itu sangat berbahaya, bila dijamin penuh ini akan terjadi moral hazard yang luar biasa, manipulasi dan sebagainya. Keuntungan untuk pengusaha, tapi kalau rugi dibayar masyarakat. Itu kan tak adil,” katanya dalam pemeriksaan Panitia Angket kasus Bank Century, Kamis (14/1).
Seperti diberitakan, Menteri Keuangan sekaligus Mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan dalam pemeriksaan Panitia Angket kasus Bank Century bahwa upaya penyelataman pada 2008 didasari dua garis kebijakan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Presiden, kata Menteri Sri, tak mau Indonesia mengalami krisis seperti 1998 dan masuk dalam program Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). Adapun Wakil Presiden, masih kata Menteri Sri, menolak dilakukannya penjaminan penuh. “Tanpa penjaminan penuh itu kondisi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan saat itu sangat tertekan,” katanya.
Menurut Kalla, sudah seharusnya semua risiko perbankan harus ditanggung pemegang saham. Industri perbankan terdiri dari bank pemerintah, bank asing, bank campuran, dan bank swasta. Kalau bank pemerintah, risikonya harus dijamin pemegang saham, yakni pemerintah. “Jadi tak perlu blanket guarantee,” ujarnya.
Adapun bank asing, dia mencontohkan Citibank, HSBC, dan Standard Chartered. “Masa kita harus jamin perilaku bank milik asing itu,” katanya. Pada bank campuran, dia mencontohkan lagi, ada yang dimiliki juga oleh Khazanah dan Themasek. “Kelewatan kita kalau rakyat harus menjamin.”
Hal serupa pada bank swasta. “Salah satu bank swasta itu BCA, pemiliknya itu orang terkaya, masa kita menjamin orang terkaya di Indonesia,” cetusnya.
AGOENG WIJAYA | AMIRULLAH