Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, Rahmat Waluyanto, memperkirakan, rasio utang terhadap produk domestik bruto lima tahun mendatang hanya 24-25 persen. Jika dihitung dari proyeksi produk domestik bruto 2014 berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah sebesar Rp 9.183 triliun, maka utang Indonesia pada tahun yang sama diperkirakan Rp 2.225,75 triliun.
Meski demikian, Rahmat memastikan rasio utang pemerintah bakal semakin efisien untuk membiayai pembangunan. Perbandingannya, rasio utang pemerintah tahun ini terhadap produk domestrik bruto diperkirakan masih di kisaran 30-21 persen.
“Utang naik, namun semakin efisien untuk pembiayaan pembangunan. Ini dilihat dari kenaikan produk domestik bruto yang akselarasinya tinggi, sehingga rasio utangnya turun. Tahun ini sekitar 30-31 persen, dan pada 2014 tinggal 24-25 persen,” kata Rahmat saat ditemui di Departemen Keuangan, Rabu (2/12).
Rahmat mengatakan, pemerintah akan mengelola utang dengan sangat berhati-hati. Selain memperhitungkan defisit anggaran, pemerintah tetap akan melihat respons pasar sehingga bisa dilakukan penghematan. Tahun ini pemerintah berhasil melakukan penghematan bunga utang sebesar Rp 14,1 triliun.
Strateginya, dia memaparkan, risiko refinancing akan dikurangi dengan cara menukar utang lama dengan utang baru yang memiliki jatuh tempo lebih panjang. Utang jangka panjang itu tetap akan dikombinasikan dengan utang berjangka pendek dan menengah. “Kami menerbitkan dengan tenor beragam (multiple tranches), sehingga rata-rata durasi portofolio tetap panjang,” ujarnya.
Surat berharga negara jangka pendek juga tetap akan diterbitkan untuk menghemat pembayaran bunga. Namun, pemerintah akan mengukur volume penerbitan obligasi jangka pendek itu agar jumlahnya tak terlalu banyak. “Nanti durasinya jadi semakin pendek, refinancing risk semakin tinggi, akan kami kombinasikan,” ujar Rahmat.
Selain itu, dia melanjutkan, pemerintah juga akan merestrukturisasi pinjaman luar negeri terutama dengan mengubah formula suku bunga. Dia mencontohkan pinjaman dari Bank Dunia yang tadinya menggunakan formula bunga variable diupayakan menjadi berbunga tetap.
Restrukturisasi pun dilakukan pada beban komitmen pembiayaan (comitment fee). Contohnya, komitmen pinjaman siaga yang kini dikantongi Indonesia sebesar US$ 5,5 miliar dari Bank Dunia, Japan Bank for International Cooperation, Bank Pembangunan Asia dan pemerintah Australia. “Kami kan selalu berdialog dengan mereka, setiap kuartal kami evaluasi, memperbaiki benchmark, dan sebagainya,” katanya.
Tahun depan strategi pengelolaan utang tak akan jauh berbeda. Lelang reguler surat utang negara, penerbitan sukuk baik lewat penawaran lelang maupun penempatan langsung, hingga penerbitan obligasi dan sukuk ritel, tetap akan dilakukan. Adapun untuk kebutuhan pembiayaan berbentuk valuta asing, kata dia, Indonesia sudah memiliki dealer panel untuk penerbitan Global Medium Term Notes (GMTN).
Pembiayaan valuta asing itu juga bisa dilakukan dengan menerbitkan sukuk global. Apalagi, pemerintah juga masih memiliki pinjaman siaga. “Tapi waktunya saya tidak tahu,” ujarnya. Yang penting, menurut dia, pemerintah saat ini memiliki banyak instrumen sehingga kenaikan defisit tak akan terlalu mengkhawatirkan. “Kami sudah bisa melakukan diversifikasi instrumen dan pasar,” katanya.
AGOENG WIJAYA