“Gangguan pada sistem perbankan berpotensi riil menciptakan perburukan situasi dan menciptakan instabilitas yang signifikan,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (24/11).
Dia memaparkan, pada kuartal III-2008, pasar keuangan mengalami tekanan dalam menghadapi berita negatif soal perekonomian global setelah jatuhnya lembaga-lemabaga keuangan besar Amerika Serikat seperti Lehman Brothers dan American International Group (AIG).
Indeks pasar modal dunia mengalami penurunan sangat tajam. Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia merosot dari posisi Januari 2008 sebesar 2.830 menjadi 1.155 pada November 2008. Penurunan yang lebih dari 50 persen ini menyebabkan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan beberapa kali melakukan suspensi.
“Bahkan kalau diingat kami melakukan beberapa kali meeting untuk melakukan relaksasi peraturan baik di BI maupun di pasar modal,” ujarnya. Bahkan ketika itu, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pemerintah bisa menggunakan dana investasi untuk membeli saham-saham yang jatuh.
Pada saat itu juga pasar surat utang negara, terutama sukuk atau obligasi syariah, mengalami tekanan yang sangat hebat. Yield (imbal hasil) meningkat dari rata-rata 10 persen pada masa sebelum krisis menjadi 17,1 persen ketika krisis.
Baca Juga:
Padahal, dari perhitungan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, setiap satu persen kenaikan yield itu menambah beban negara sebesar Rp 1,4 triliun. “Jadi kenaikan 7 persen menyebabkan beban kita melonjak lebih dari Rp 8 triliun,” katanya.
Tak hanya itu, pada 2008 risiko gagal bayar kredit Indonesia meningkat tajam dari 250 basis point menjadi lebih dari 1.000 basis point, terutama pasca masalah yang membelit Bank Indover.
Di sektor perbankan dan keuangan, gangguan likuiditas di pasar karena peningkatan likuiditas premium dalam perdagangan di pasar saham telah menyebabkan pelarian modal asing. Cadangan devisa pun menyusun dari posisi mendekati US$ 60 miliar menjadi hanya US$ 51 miliar.
Volatilitas rupiah terjadi tiap hari hingga mengalami depresiasi 30 persen dari 9.800 per dolar AS menjadi 12.100 per dolar AS pada akhir 2008. “Ini menunjukkan potensi memori krisis. Baik pasar modal, pasar uang, dan semuanya menunjukkan potensi kepanikan akibat krisis keuangan. Indonesia dinilai sebagai negera berisiko (country risk) sangat tinggi,” kata Sri Mulyani.
Oleh sebab itu, dia mengingatkan lagi, negara-negara G-20 pun sepakat bertemu. Tujuannya sangat jelas, kata dia. “Untuk mengembalikan kepercayaan. Karena kepercayaan pada hari-hari itu menjadi barang yang langka dan mahal.”
Pertimbangan itulah, menurut Sri, yang menjadi latar belakang Komite Stabilitas menjadikan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Keputusan bukan hanya terfokus pada Bank Century, melainkan juga untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian nasional. “Kami anggap semua fakta itu adalah dasar yang kuat untuk membuat kebijakan,” tutur Sri Mulyani.
AGOENG WIJAYA | REZA MAULANA