TEMPO Interaktif, Jakarta - Kurator yang ditunjuk Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya mulai melakukan inventarisasi aset PT Dewata Royal International. Masuknya kurator tersebut berkaitan dengan putusan pengadilan yang menetapkan status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kepada Dewata hingga 6 November 2009.
Kuasa hukum perusahaan pemilik Hotel Aston Bali tersebut, Ari Yusuf Amir, mengatakan kurator bekerja sejak putusan dikeluarkan 1 Oktober 2009. Namun, dalam prakteknya kurator bertindak melebihi kewenangannya. “Dia memblokir rekening klien kami, sehingga operasional hotel terganggu,” kata Ari kepada Tempo Kamis lalu
Seharusnya, kurator berlaku netral dan tidak mewakili kepentingan siapa pun. “Kalau sekarang dia seolah-olah mewakili kepentingan Bank Mandiri selaku penggugat,” kata Ari. Apalagi, hubungan hukum antara Dewata dengan Mandiri tidak sederhana dan perkara utang-piutang tersebut sedang diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut Ari, perkara ini berpangkal pada perbedaan penghitungan jumlah utang dan jenis valuta asing yang dipakai antara kliennya dengan Mandiri. Berdasarkan perhitungan manajemen Dewata, pembayaran utang selama ini melebihi seluruh utang pokok. Namun sebaliknya, Mandiri mengatakan masih ada kekurangan bayar.
Begitu pula kondisi keuangan Dewata sangat menguntungkan sehingga tidak layak dikenakan Undang-Undang Kepailitan. Misalkan, tingkat hunian 92 persen pada 2008, dan 97 persen sepanjang 2009. Hotel Aston Bali juga mendapat penghargaan nasional dan internasional selama 2008-2009.
Di kesempatan terpisah, Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo bertekad mengejar piutangnya di Aston Hotel Bali Resort dan Spa senilai US$ 22,16 juta (sekarang sekitar Rp 207 miliar). "Nasabah ini sudah berkali-kali kami beri keringanan," ujarnya.
Dia bercerita, Dewata pada 1996 meminjam US$ 14 juta ke Bank Exim untuk membangun Hotel Aston di Tanjung Benoa, Nusa Dua, Bali. Namun, hingga kini, Dewata belum juga melunasi utangnya. Kalau ditambah bunga US$ 7,7 juta dan denda US$ 300 ribu, nilainya menjadi sekitar US$ 22 juta.
Mandiri, katanya, sudah empat kali merestrukturisasi utang Dewata. Bank plat merah itu juga sudah memberikan keringanan bunga hanya 1 persen per tahun untuk 60 persen utangnya. "Segala upaya sudah kami lakukan agar nasabah ini bisa melunasi utangnya," kata Agus.
Karena itu dia mengaku terkejut saat Dewata malah menggugat banknya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Debitor itu berdalih menolak membayar utang karena Mandiri menagih dalam dolar Amerika Serikat. Padahal, kata Agus, penagihan dalam dolar memang kesepakatan sejak awal. "Pinjam dalam dolar, tandatangan dalam dolar, penggunaan dalam dolar, tentu kembalikan dalam dolar," katanya.
Bank Mandiri lalu bertindak dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Surabaya menggunakan pasal 222 Undang-Undang Kepailitan sehingga Dewata diputuskan wajib melunasi utangnya sampai 6 November 2009. "Kalau tidak, dinyatakan pailit," kata Arifin Firdaus, dari bagian hukum dan penagihan Mandiri.
Dewata adalah satu dari lima debitor kakap yang sedang dikejar Mandiri. Debitor lainnya adalah Benua Indah Group (sekitar Rp 940,4 miliar), Djajanti Group (sekitar US$ 18,6 juta), Garuda Indonesia (sekitar 3,36 triliun), dan Suba Indah (sekitar Rp 1,28 triliun).
EFRI RITONGA | REZA MAULANA