TEMPO Interaktif, Jakarta - Biaya operasional Blok Cepu membengkak akibat molornya produksi awal blok minyak itu dari target Desember 2008 menjadi akhir Agustus 2009. Berdasarkan informasi yang diterima Tempo, dana untuk produksi awal 20 ribu barel per hari naik dari semula US$ 20 juta menjadi US$ 40 juta.
Selain itu, biaya untuk produksi dengan kapasitas penuh 165 ribu barel per hari membengkak dua kali lipat lebih, dari US$ 2,365 miliar menjadi US$ 5,235 miliar. Perinciannya, biaya pengeboran naik dari US$ 272 miliar menjadi US$ 540 miliar, biaya fasilitas di lapangan naik dari US$ 838 juta menjadi US$ 2,3 miliar, dan biaya operasi meningkat dari US$ 1,2 miliar menjadi US$ 2,34 miliar. Hanya biaya abandonment (reklamasi lapangan) yang masih tetap, sebesar US$ 55 juta.
Menurut sumber Tempo, kenaikan biaya tersebut cukup aneh. Alasannya, biaya produksi dan pengeboran industri minyak saat ini cenderung turun akibat krisis global dan penurunan harga minyak dunia. "Biaya untuk sewa rig dan peralatan sekarang murah karena banyak perusahaan minyak menghentikan kegiatan operasionalnya," ujarnya.
Yang lebih mencurigakan, kata sumber itu, biaya investasi sebelum pengembangan atau sunk cost meningkat dari US$ 372 juta menjadi US$ 383 juta. Operator blok itu, Mobil Cepu Limited (anak usaha ExxonMobil), memasukkan dana saat mengambil alih PT Humpuss Patra Gas, pemilik Blok Cepu sebelumnya, ke dalam sunk cost.
Pemerintah, sumber itu menambahkan, seharusnya mengaudit kegiatan operasional di blok tersebut. Saat ini terdapat sekitar 400 karyawan asing ExxonMobil di Cepu dan tidak mampu berbuat banyak untuk melaksanakan target yang ditetapkan pemerintah. "Semua keputusan harus berasal dari kantor pusat mereka di Houston, Amerika Serikat," ujarnya. "Kantor ExxonMobil di Indonesia tidak berdaya sama sekali."
Situasi tersebut membuat dana operasional untuk 400 karyawan itu sangat besar. Sebagai contoh, mereka harus memakai fasilitas hotel terbaik, dan dana time sharing (konsultasi) dengan kantor pusat pun tidak sedikit. "Mereka juga tidak mau memakai perjalanan darat Surabaya-Cepu, yang hanya dua jam, harus dengan helikopter," katanya.
Dengan kondisi tersebut, pengerjaan fasilitas produksi pun tersendat. Kecil kemungkinan ExxonMobil mampu mencapai target 165 ribu barel pada Maret 2010. Saat ini central production facility (fasilitas untuk kapasitas penuh) belum berhasil mendapatkan pembebasan lahannya.
Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R. Priyono mengatakan pihaknya sedang menghitung berapa besar kerugian pemerintah akibat keterlambatan produksi Blok Cepu. "Kami sedang dalam proses rapat-rapat evaluasi," ucapnya.
Evaluasi yang dilakukan, kata Priyono, menyangkut perjanjian kerja sama antara Pertamina dan ExxonMobil. Menurut dia, perjanjian yang dibuat sangat merugikan Pertamina. "Perjanjian itu sangat buruk," tutur dia.
Adapun Direktur Operasi dan penjabat Direktur Utama Pertamina EP Cepu, Kunto Wibisono, mengatakan pihaknya memang melihat adanya indikasi kenaikan biaya operasional Blok Cepu. "Kami masih menghitung-hitung berapa kenaikannya dan akan menanyakan kepada Mobil Cepu Limited tentang masalah ini," ujarnya.
Juru bicara ExxonMobil, Maman Budiman, ketika dimintai konfirmasi pada Jumat lalu enggan memberikan penjelasan soal kenaikan biaya operasional ini. Dalam pesan singkatnya kepada Tempo, dia mengatakan, "Saya sedang di lapangan Cepu, lagi mengantar anggota DPR yang sedang berkunjung, sampai sore."
ExxonMobil berkomitmen akan memproduksi minyak sebesar 20 ribu barel per hari pada bulan ini. Namun, rencana tersebut dua kali molor dari waktu yang dijanjikan, yakni akhir 2008 dan April 2009.
ALI NUR YASIN | SORTA TOBING