Tingginya harga gula, menurut Hatanto, karena saat ini komoditas itu memang langka. Tak hanya di pasar Indonesia, tapi juga pasar di luar negeri. Di dalam negeri, gula menjadi langka karena mahalnya harga gula di pasar internasional membuat industri makanan dan minuman berhenti impor dan membeli produk gula di dalam negeri, termasuk gula putih yang dikonsumsi masyarakat.
Sedangkan di luar negeri, gula menjadi langka karena produksi gula di beberapa negara turun. Brazil, negara produsen gula nomor satu di dunia, selain produksinya turun juga digunakan untuk memasok bahan baku bio-energi (ethanol) di negara itu. Padahal, negara ini memasok sekitar 50 persen kebutuhan gula di dunia.
Selain Brazil, produksi gula di India juga turun karena ada kebijakan di negara itu untuk menurunkan produksi gula. Sementara Indonesia selalu membeli gula dari India dan Thailand.
“Jadi barangnya memang tidak ada. Bukan karena ditimbun pedagang,” kata Hatanto yang kini juga berkecimpung di bisnis perdagangan gula.
Menurut dia, produsen atau pabrik gula dan petani tebu rakyat saat ini sangat diuntungkan dengan kenaikan harga gula yang terjadi belakangan ini.
“Yang untung sekarang adalah PT Perkebunan Nusantara, PT Rajawali Nusantara Indonesia, dan petani tebu rakyat,” kata Hatanto kepada Tempo.
Pertanyaannya, dia melanjutkan, mau seberapa tinggi harga gula itu. Pasalnya, jika harga terus tinggi ada kemungkinan orang akan berhenti mengkonsumsi gula.
Dampak yang lebih buruk lainnya lagi adalah usaha kecil menengah, yang menggunakan gula sebagai bahan baku gulung tikar, karena tak kuat membeli harga gula yang terus meningkat. “Kalau sudah begini, apa produsen dan petani tebu mau?”
GRACE S GANDHI