“Bank kecil maupun besar menghadapi masalah sama, yaitu masalah pinjaman antarbank yang tidak dijamin pemerintah dan dana pihak ketiga yang hanya dijamin pemerintah maksimal Rp 2 miliar,” kata Fauzi kepada Tempo di Jakarta sore ini.
Selama pinjaman antarbank ini tidak dijamin pemerintah, Fauzi menjelaskan, bank besar tidak akan berani mengucurkan dana mereka ke bank kecil karena resiko gagal bayar akan besar sekali. Apalagi, di tengah krisis seperti sekarang.
“Bank besar lebih baik memarkir dana mereka di SUN (Surat Utang Negara). Meskipun bunganya relatif kecil dibanding suku bunga pinjaman antarbank, tapi lebih aman,” ujarnya.
Nasabah juga tidak berani memarkir dananya di bank besar maupun bank kecil, karena dana pihak ketiga yang dijamin pemerintah hanya sampai Rp 2 miliar. Akibatnya, nasabah juga lari membeli Surat Utang Negara.
“Nasabah juga merasa lebih aman membeli SUN. Misalkan dia beli SUN Rp 10 miliar. Kalau sewaktu-waktu dia membutuhkan dana, dia tinggal jual SUN itu. Duit langsung didapat. Tapi kalau dia taruh uang itu di bank kecil misalnya, belum tentu bisa kembali hari itu juga karena bank bisa saja nanti colaps kalau dana nasabah ditarik semuanya,” jelas Fauzi.
Karena itu, dia mengakui, dana sekarang memang cenderung mengalir ke Surat Utang Negara. Ujung-ujungnya, pengucuran dana untuk pinjaman menjadi seret.
Permintaan BI ke 14 bank nasional dan asing Kamis pekan lalu, dia menilai, tetap tidak akan bisa memaksa bank menurunkan suku bunga mereka. Apalagi permintaan itu sifatnya hanya berupa himbauan, tidak ada dasar hukumnya.
Solusinya, Fauzi menegaskan, ya harus ada penjaminan pinjaman antarbank dan penjaminan dana pihak ketiga ditambah lagi jumlahnya. Tidak cuma Rp 2 miliar itu.
Namun, ia menambahkan, sebenarnya kondisi industri perbankan di Indonesia tidak buruk-buruk amat. Bahkan pertumbuhan kredit pada Mei di Indonesia kedua tertinggi di kawasan Asia, setelah Cina.
Pertumbuhan kredit di Cina pada Mei mencapai 30,6 persen, Indonesia 19,2 persen, dan India 15,8 persen. Bahkan jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tetap yang tertinggi karena Filipina hanya 10,2 persen dan Malaysia 8,9 persen.
“Jadi pertumbuhan kredit di Indonesia masih baguslah di saat krisis seperti sekarang,” kata Fauzi.
GRACE S GANDHI