TEMPO Interaktif, Jakarta - Salah satu tantangan terbesar bagi Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, yang nyaris pasti berkuasa tahun 2009-2014, ialah mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Masih banyak penduduk yang tercatat sebagai orang miskin dan penganggur. "Masih double-digit (dua digit persen dari jumlah seluruh warga negara Indonesia)," ujar ekonom Institute for Development of Economics and Finance Aviliani saat dihubungi Tempo, Jumat (10/7).
"Padahal Indonesia sudah menandatangani Millennium Development Goals, yang menargetkan angkanya tujuh persen pada 2015."
Pemerintah sebelumnya memperkirakan angka orang miskin tahun ini berada di kisaran 14 persen.
Menurut Aviliani, untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, pemerintah harus berani bertindak. Antara lain, dengan meninjau ulang peraturan yang bersifat liberal dan merugikan rakyat serta memberi peran penstabil harga pada badan usaha milik negara.
Ia menyebutkan, banyak Undang-undang yang saking liberalnya menyebabkan rakyat merugi. Misal, Undang-undang nomor 24 tahun 1999 tentang lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. "Pemerintah tak bisa mengontrol aliran devisa, sehingga nilai tukar rupiah tidak pernah stabil," kata dia.
Aviliani berpendapat, krisis finansial bisa dijadikan momentum untuk memperbaiki peraturan-peraturan cacat itu. Pasalnya, hampir semua negara kini memfokuskan perhatiannya pada perekonomian domestik dan menerapkan aturan yang lebih protektif terhadap industri domestik. "Kita juga berhak melakukan tindakan yang sama."
Pemerintah melalui badan usahanya juga perlu menstabilkan harga bahan pertanian yang penting seperti pupuk dan bibit. Caranya, pemerintah memberi subsidi bagi petani, bukan pabrik atau pengusaha. Pemerintah pun perlu menjaga kestabilan harga hasil pertanian dengan membeli hasil tani dengan margin tertentu yang menjamin petani bisa hidup sejahtera. Dengan begitu, 44 persen dari 107 juta orang angkatan kerja yang bergerak di sektor pertanian dapat hidup lebih layak.
BUNGA MANGGIASIH