Dia memastikan pemerintah akan selalu mencari sumber pembiayaan yang paling lunak, baik pada pinjaman bilateral dan multilateral. Biaya utang dan risiko utang selalu diperhitungkan seminimal mungkin. “Kebijakan harus diteliti dengan cermat karena harus dipertanggungjawabkan tiap tahun,” katanya.
Menurut Sri Mulyani, kebijakan pengelolaan utang dilakukan berbeda-beda antara satu periode pemerintahan dan lainnya. Pada masa 30 tahun pemerintahan Orde Baru, dia menjelaskan, seluruh defisit anggaran dibiayai utang luar negeri yang kurang transparan.
Baca Juga:
Pembiayaan anggaran lewat utang berlanjut pada masa awal reformasi di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Namun ketika itu, pemerintah mulai menerbitkan surat utang negara Rp 100 triliun pada 1998, dengan masa jatuh tempo 5 tahun dan 10 tahun. Penerbitan surat utang dilanjutkan pada zaman kepemimpinan Abdurrachman Wahid sebesar Rp 400 triliun pada 1999, dan Rp 150 triliun yang akan jatuh tempo pada 2009 dan 2010.
Adapun pada zaman Megawati Soekarnoputri, pembiayaan anggaran dilakukan dengan kombinasi antara penerbitan surat utang dan penjualan aset negara lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional. “Jadi secara bruto penerbitan surat berharga 2007-2009 memang melonjak karena penerbitan utang-utang masa lalu,” ungkapnya.
Baru pada 2004 pembiayaan pinjaman luar negeri (netto) selalu berkurang. “Artinya pemerintah sudah tak mengambil sumber dari luar negeri, karena saat ini menguatkan pasar dalam negeri,” tutur Menteri Sri Mulyani.
Data Departemen Keuangan menunjukkan jumlah utang pada 2003 mencapai Rp 11,3 triliun dan pada 2008 menjadi Rp 126,2 triliun. Hingga akhir Maret 2009, total outstanding utang pemerintah mencapai Rp 1.700 triliun. Dari jumlah itu, utang luar negeri mencapai Rp 732 triliun, atau naik Rp 2 triliun dibandingkan akhir 2008 sebesar Rp 130 triliun.
Pinjaman luar negeri terbesar diperoleh dari Jepang yang mencapai US$ 27,33 miliar atau 43,2 persen dari total utang luar negeri. Selanjutnya pemerintah mendapat pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (US$ 10,60 miliar), Bank Dunia (US$ 8,88 miliar), dan pinjaman dari sumber lainnya (US$ 16,38 miliar).
Sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat menuntut dilibatkan dalam setiap perencanaan penarikan utang luar negeri yang akan dilakukan oleh pemerintah. Dewan pun mendesak pemerintah agar segera merancang dan mengajukan Rancangan Undang-Undang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri.
Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan, Olly Dondukambe, mengatakan selama ini Dewan telah berulang kali meminta agar pemerintah menyusun perundangan soal mekanisme dan sistem utang negara. Namun, hingga saat ini pemerintah belum juga mengajukannya.
”Kami meminta setiap rencana utang negara yang cukup signifikan dikonsultasikan kepada Dewan,” katanya dalam rapat kerja dengan pemerintah dan Bank Indonesia di ruang rapat Komisi Keuangan dan Perbankan di Gedung DPR, Jakarta
AGOENG WIJAYA