Sebaliknya, perusahaan rokok asing sudah tidak bisa berkembang di negeri asalnya. "Sehingga mereka mencari peluang di tempat lain," kata Poltak kepada Tempo di Jakarta akhir pekan lalu.
Poltak menjelaskan, di negara maju penjualan rokok terus turun karena tingginya kesadaran kesehatan, ketatnya peraturan periklanan, dan lambatnya pertumbuhan populasi. Beda dengan di negara berkembang seperti Indonesia, potensi pasar rokok masih besar, regulasi relatif longgar, dan jumlah penduduk masih tumbuh pesat.
Seperti diketahui, Rabu pekan lalu British American Tobacco Plc (BAT) mengakuisisi 85 persen saham PT Bentoel Internasional Investama Tbk senilai lebih dari Rp 5 triliun. Perusahaan yang berkantor pusat di London itu membeli 56 persen saham Rajawali Group dan pemegang saham lainnya di Bentoel.
Perusahaan rokok asal Amerika Serikat, Philip Morris International Inc, sebelumnya mengakuisisi 98 persen saham PT HM Sampoerna Tbk melalui PT Philip Morris Indonesia pada 2005.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi sependapat bahwa Indonesia menjadi target industri rokok asing karena lemahnya regulasi pengendalian tembakau. Indonesia, misalnya, sampai sekarang belum meratifikasi Frame Convention Tobacco Control.
Cina dan India sudah meratifikasi aturan itu.
Indonesia, yang pasarnya jauh lebih besar ketimbang kedua negara tersebut, sampai sekarang belum melakukannya. Indonesia menjadi negara kelima terbesar pasar rokok dunia.
Lantaran Indonesia belum meratifikasi aturan pengendalian tembakau itu, asing berpeluang menyerbu. "Secara ekonomi pasar Indonesia memang menggiurkan," kata Tulus pada kesempatan terpisah.
Menurut dia, sebelumnya Philip Morris dan BAT mengincar Cina. Namun, Cina keburu meratifikasi aturan pengendalian tembakau internasional sehingga mereka berpaling ke Indonesia.
Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, berpendapat sama. Menurut dia, investor asing memilih Indonesia karena regulasi perlindungan kesehatan dari rokok sangat lemah. "Nanti pasti akan ada akuisisi lagi terhadap industri rokok nasional," katanya.
Perusahaan rokok Indonesia mayoritas merupakan bisnis keluarga. Ketika sampai pada generasi ketiga, bisnis itu makin lemah sehingga akuisisi dari perusahaan asing begitu mudah terjadi.
Abdillah juga menyinggung kerugian yang timbul akibat Indonesia tidak meratifikasi kebijakan pengendalian tembakau. Dari sisi konsumen, 70 persen perokok adalah masyarakat miskin. Akibatnya, terjadi transfer pendapatan perokok anak dan orang miskin ke industri rokok. "Uangnya mengalir ke mereka, penyakitnya di kita," ujarnya.
Hasil penelitiannya menunjukkan, 12 persen dari pendapatan masyarakat miskin digunakan untuk konsumsi rokok atau sekitar Rp 117 ribu per bulan habis untuk rokok.
Menurut catatan Jaringan Pengendalian Tembakau Indonesia, Indonesia menangguhkan pembahasan Rancangan Undang-undang Pengendalian Tembakau, yang sudah terdaftar dalam agenda Program Legislasi Nasional 2009.
Saat ini Indonesia mengkonsumsi 250 miliar batang rokok per tahun. Indonesia juga menyumbang hampir separuh (46 persen) dari jumlah perokok di kawasan Asia Tenggara.
BUNGA MANGGIASIH | NIEKE INDRIETTA