"Kalau dalam dua minggu proyek ini tidak terlaksana maka akan semakin lama lagi lapangan gas itu tereksploitasi," ujar Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, Rabu (10/6), dalam paparannya di depan anggota Komisi Energi dan Lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta.
Ia mengatakan konsorsium Donggi-Senoro, yaitu Pertamina-Medco-Mitsubishi, telah mengajukan kontrak gas yang menguntungkan Indonesia. Dalam kontrak tersebut konsorsium menggunakan dua slope ditambah US$ 0,30.
Konsorsium akan menggunakan slope 6,7 persen untuk harga minyak Japan Crude Cocktail, harga acuan ekspor gas ke Jepang, di bawah US$ 45 per barel dan 12 persen untuk harga minyak di atas US$ 45 per barel.
Dengan formula itu, untuk harga minyak US$ 70 per barel, maka harga well-head (kepala sumur) US$ 6,16 per MMBTU dan harga freight on board (harga pengiriman tidak termasuk asuransi) untuk liquefied natural gas (gas alam cair/LNG) yang mencapai US$ 10,98 per MMBTU. "Sekarang harga spot pasar LNG mencapai US$ 4 per MMBTU, jadi kontrak gas Donggi-Senoro sudah sangat baik," kata Karen.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi Evita Legowo mengatakan pihaknya tidak lagi memiliki wewenang untuk memutuskan kapan pemerintah akan memberikan persetujuan gas. "Masalah ini sekarang sudah di tangan Wakil Presiden (Jusuf Kalla)," ucapnya.
Perjanjian awal konsorsium dengan dua calon pembeli asal Jepang seharusnya berakhir pada 31 Maret lalu. Namun, karena pemerintah tidak memberikan persetujuan soal harga maka perjanjian itu pun diperpanjang.
Pemerintah masih belum sepakat soal harga gas. Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi R Priyono beberapa waktu lalu meminta agar harga gas Donggi-Senoro minimum US$ 3,8 per MMBTU untuk harga minyak US$ 40 per barel.
SORTA TOBING