Alasannya, risiko pinjaman lebih kecil ketimbang menerbitkan obligasi. "Penyerapan pasar tidak akan maksimal kalau menerbitkan obligasi, terlebih kondisi krisis ekonomi makin memburuk," kata Johanna di Jakarta, Rabu (11/3).
Menurut Chua, pemulihan krisis ekonomi global baru akan terjadi pada kuartal pertama 2010. Itu pun pemulihannya masih dangkal. Kapitalisasi pasar modal dunia sudah tergerus lebih dari US$ 30 triliun atau Rp 360 kuadriliun (Rp 360 ribu triliun) sejak setahun lalu. Citigroup menilai perekonomian Indonesia masih rentan terhadap berbagai risiko perekonomian yang terjadi saat ini.
Perekonomian Indonesia, ia melanjutkan, akan melambat akibat perlambatan investasi yang tajam. "Kami berpendapat permintaan domestik akan melambat seperti terlihat pada kuartal ke empat 2008 dan akan berlanjut di 2009," ujarnya.
Menurut dia, agenda pemilihan umum yang akan dilaksanakan hanya bisa mengangkat permintaan domestik secara temporer saja. "Kami memperkirakan pertumbuhan tahun ini akan berada di level 3,5 persen di 2009 dan akan membaik menjadi 4,6 persen pada 2010," katanya.
Chua berharap pemerintah tetap mempertahankan defisit anggaran di bawah dua persen dan memberikan stimulus terbatas.
Sementara itu, neraca pembayaran akan bergerak secara moderat di sekitar 0,4 persen dari GDP. Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate), kata dia, akan bergerak ke level 7 persen pada tahun ini mengingat laju inflasi akan melambat. Meskipun BI Rate turun, Citi memperkirakan pertumbuhan kredit melambat ke level 15-18 persen tahun ini karena permintaan kredit yang menurun.
Chua menjelaskan, Indonesia sampai saat ini belum mengambil tawaran Dana Moneter Internasional atau International Monetery Fund (IMF) sebesar US$ 15,2 miliar atau Rp 181 triliun. Padahal dana tersebut bisa menjadi sumber pendanaan jangka pendek.
Pemerintah pada Februari lalu baru saja menerbitkan obligasi MTN Global senilai US$ 3 miliar atau Rp 36 triliun. Namun yield (imbal hasil) yang dibayarkan cukup besar hingga mendekati 12 persen.
EKO NOPIANSYAH