"Pemerintah mendorong PT Pertamina (Persero) untuk melakukan negosiasi 'b-to-b' atau business to business (secara bisnis) dengan ExxonMobil untuk menggarap blok itu secara bersama," ujar analis perminyakan, Kurtubi, Sabtu (10/1), ketika dihubungi Tempo.
Seperti diberitakan sebelumnya, ExxonMobil mengatakan masih memiliki kontrak kerja sama Natuna meskipun Pemerintah Indonesia telah menterminasinya dua tahun lalu dan menyerahkan hak pengelolaan kepada PT Pertamina (Persero).
Menurut Kurtubi, langkah win-win solution ini jauh lebih efektif daripada kedua belah pihak saling memaksakan kehendaknya. "Kalau ExxonMobil tidak terima, dia bisa membawa masalah ini ke pengadilan arbitrase. Prosesnya akan panjang dan calon mitra kerja sama Pertamina pun menjadi ragu untuk membelanjakan investasinya di Natuna," katanya.
Selain mengurangi resiko pengaduan ke pengadilan arbitrase, upaya damai ini juga berdampak positif bagi percepatan eksplorasi dan eksploitasi gas Natuna. Karena saat ini ExxonMobil sudah menguasi data dan teknologi blok gas Natuna yang memiliki kandungan karbondioksida lebih dari 70 persen.
Selama 30 tahun ExxonMobil tidak kunjung mengembangkan blok gas Natuna. Dalam analisisnya, penelantaran ini terjadi karena perusahaan minyak dan gas asal Amerika Serikat itu, dalam waktu yang bersamaan mendahulukan pengembangan LNG (gas alam cair) di Qatar. "Kalau dua-duanya dikembangkan, nanti mereka berebut pasar yang sama," ucap dia.
Kurtubi melihat ada hikmah positif dari tertundanya pengembangan Natuna. Karena kontrak bagi hasil yang disepakati sejak 1994 hingga 2005 sangat merugikan Indonesia. ExxonMobil dalam kontrak itu memperoleh 100 persen keuntungan di luar pajak.
"Sebaiknya jangan memperpanjang masalah. Berpikir pragmatis saja," tutur Kurtubi. Dengan terlaksananya proyek ini, ia menjelaskan, akan menambah pemasukan negara dan menciptakan lapangan pekerjaan.
SORTA TOBING