Berdasarkan hasil rapat kabinet, pemerintah telah menugaskan Badan Penyehatan Perbankan Nasional untuk merestrukturisasi Texmaco. Laksamana mengatakan, restrukturisasi akan dilakukan baik terhadap utang maupun manajemen perusahaannya. Pilihan itu diambil karena perusahaan milik Marimutu Sinivasan itu tidak laku dijual, kendati BPPN sudah banting harga hingga US$ 5 sen per lembar sahamnya. "Ditawarkan US$ 5 sen saja tidak ada yang mau beli. Itu berarti ada yang salah," kata dia.
Kebijakan tersebut juga didasarkan atas keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) bahwa pemerintah sebaiknya menyelamatkan yang bisa diselamatkan. Sebaliknya, yang tidak bisa diselamatkan harus bisa diminimalkan kerugiannya.
Masih menurut Laksamana, dalam merestrukturisasi perusahaan, pemerintah akan melihat sektor-sektor yang masih bermanfaat, misalnya sektor tekstil. Sedangkan sektor rekayasa akan diaudit teknologi oleh Kementrian Riset dan Teknologi. Dalam audit teknologi itu akan diteliti kondisi mesinnya, apakah masih berfungsi atau tidak. "Atau justru tinggal transaksi aja, besinya berapa kilo," kata dia. Dari situ bisa diketahui berapa nilai asetnya.
Pemerintah juga akan melakukan audit forensik terhadap Texmaco, yaitu penelitian penggunaan dana utang. Selama ini, Laksamana mengaku, tidak ada yang berani melakukan audit forensik. Namun, ia memastikan, BPPN akan melakukannya dalam waktu dekat.
Ia menjelaskan, BPPN masih terus melakukan kajian mengenai kelanjutan Texmaco ke depan. Termasuk kemungkinan untuk mengalihkan bisnis teknik rekayasa menjadi perusahaan pembuat peralatan militer, seperti yang diusulkan oleh Panglima Tentara Nasional Indonesia beberapa waktu lalu. "Pengalihan bisnis ke arah manapun harus melalui audit terlebih dahulu," kata Laksamana.
Texmaco selain memproduksi tekstil juga memiliki pabrik pembuat truk militer dan beberapa alat berat. "Pemerintah akan melihat apakah nilai aset peralatan dan mesin-mesin Texmaco sesuai dengan utangnya atau tidak," katanya.
Menurutnya, kasus Texmaco berbeda dengan kasus PT Dirgantara Indonesia. Dalam kasus Texmaco, BPPN merupakan krediturnya, sedangkan dalam kasus PT DI pemerintah merupakan pemegang saham. Artinya utang Texmaco sebesar Rp 26 triliun itu tanggung jawabnya pemegang saham. Berbeda dengan PT DI, dimana penanggung jawabnya adalah pemerintah sebagai pemegang saham.
Dalam kasus PT DI, kata Laksamana, pemerintah memutuskan untuk memberikan dana talangan yang akan digunakan sebagai pesangon karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Meteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan melakukan negosiasi tripartid dengan manajemen dan serikat pekerja PT DI, berkaitan dengan besarnya pesangon yang akan diberikan.
Retno Sulistyowati - Tempo News Room