hal tersebut dikatakan Wakil Kepala Badan Pembinaan Minyak dan Gas (BP Migas) Kardaya Warnika, di Jakarta, Kamis (18/9). Menurutnya, pihaknya telah meminta langsung kepada ExxonMobil untuk memenuhi pasokan dalam negeri. Kontrak dengan PIM yang harus dipenuhi adalah 63 juta kaki kubik perhari, sementara pasokan sekitar 67 juta kaki kubik perhari. “Jadi suplai yang ada melebihi kontrak,” kata kardaya.
Dikatakannya, pasokan gas ke PIM sempat berkurang karena kerusakan cluster 4 di Kilang Arun, Aceh, yang dikelola oleh ExxonMobil. Akibatnya, produksi gas dari kilang itu menurun. Selain itu, ExxonMobil lebih mengutamakan untuk memenuhi pasokan pemebeli dari luar negeri, seperti Korea.
Akibatnya, suplai gas dalam negeri berkurang. Untuk PIM misalnya hanya disuplai 52 juta kaki kubik perhari, sedangkan Asean Adjust Fertilizer (AAS) tidak disuplai karena kontraknya habis. Gangguan pasokan itu sempat menimbulkan keresahan. Pemerintah bersikap tegas dengan meminta ExxonMobil mengutamakan suplai dalam negeri. “Pemerintah berprinsip ada optimalisasi kepentingan nasional,” kata Kardaya.
Masalahnya, AAS kontraknya sudah habis, sehingga suplai selama ini dilakukan tanpa kontrak. Akibatnya, sulit untuk menekan ExxonMobil agar mengupayakan suplai ke AAS. Apalagi, kendala utamanya, stok LNG yang ada sekarang berada diambang batas.
Bila pemerintah memaksa ExxonMobil untuk mensuplai gas ke AAS, akan berdampak pada berkurangnya stok gas di Arun. Ini akan berakibat pada ketidakmampuan memenuhi komitmen terhadap pembeli dari Korea. “Kita bisa kena penalti,” tambah Kardaya. Untuk mengatasinya, pasokan LNG dari Arun dialihkan ke Bontang, Kalimantan Timur. Terutama untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tidak hanya untuk AAS tetapi juga untuk listrik.
retno sulistyowati/TNR