Indonesian Mining Asociation (AMI) meminta Komisi Pertambangan dan Energi DPR untuk menyetujui keputusan pemerintah yang telah memberikan izin terhadap 15 dari 22 perusahaan tambang, untuk berproduksi di lahan yang tumpang tindih dengan hutan lindung.
Ketua Indonesian Mining Ascociation (AMI), Paul L. Coutrier, di Jakarta, Selasa (24/6) menilai, keputusan pemerintah itu sebagai langkah positif. Dikatakannya, dalam waktu dekat, DPR akan mengujungi areal pertambangan tersebut untuk memastikan bahwa penambangan yang akan dilakukan tidak akan mengganggu fungsi hutan lindung.
Coutrier memastikan, areal hutan lindung yang tumpang tindih dengan kawasan pertambangan sangat sedikit, hanya 0,056 persen. Saat ini, dari area hutan lindung 690 ribu hektar, hanya 2,5 juta hektar yang dijadikan areal pertambangan. Ia memastikan, aktivitas pertambangan itu tidak akan mengganggu fungsi hutan lindung.
Seperti diberitakan, rapat koordinasi terbatas bidang ekonomi dan keuangan pekan lalu memutuskan untuk memberikan izin penambangan terhadap 15 dari 22 perusahaan yang lahan produksinya tumpang tindih dengan hutan lindung. Perusahaan yang diberikan izin, antara lain PT Freeport, PT Newmont, dan PT Inco. Alasannya, ke-15 perusahaan itu sudah siap berproduksi, sehingga bisa diketahui nilai cadangan ekonomisnya. Sedangkan 7 perusahaan sisanya masih dalam tahap eksplorasi.
Sebelum keputusan dibuat, pemerintah telah meminta perusahaan-perusahaan tersebut untuk memberikan laporan kinerja dan nilai investasi yang telah dikeluarkan untuk eksplorasi dan persiapan produksi. Coutrier mengatakan, dari ke-22 perusahaan itu, nilai investasi yang telah dikeluarkan mencapai US$ 11,6 miliar dengan jumlah tenaga kerja 42 ribu. Data itu yang dijadikan dasar bagi pemerintah untuk membuat kebijakan.
Di sisi lain, penerbitan surat izin itu menuai protes dari tujuh perusahaan lain yang belum diberikan izin. Coutrier mengatakan, tidak menutup kemungkinan ke-7 perusahaan itu akan mengajukan masalah ini ke arbitrase internasional. Atau bahkan mereka akan mencabut investasinya dari Indonesia dan pindah ke negara lain yang iklim investasinya lebih kondusif. "Kemungkinan itu memang ada," kata dia. Terutama karena mereka merasa telah mengantongi kontrak kerja, sebelum akhirnya digugat oleh Menteri kehutanan.
Namun, ia memastikan, hingga saat ini belum ada anggota IMA yang secara eksplisit menyatakan untuk membawa masalah ini ke arbitrase. Menurut Coutrier, masing-masing perusahaan anggota IMA memiliki kebijakan sendiri berkaitan dengan penyelesaian kontrak pertambangan tersebut. Biasanya, pengusaha cenderung untuk mencari jalan damai yang dianggap baik bagi perusahaannya dan pemerintah. Yang penting, bisa mempertanggungjawabkan kepada para pemegang saham atas kebijakannya itu.
(Retno Sulistyowati-Tempo News Room)