TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman meminta Lippo Group selaku pengembang Meikarta, melakukan pemasaran secara wajar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pasalnya, dalam iklannya, lokasi hunian baru itu kerap dinyatakan bakal seluas 500 hektar, padahal saat ini lahan yang tersedia baru 84,6 hektar.
"Semoga Lippo mulai koreksi untuk tidak terlalu bombastis menjual visi. Atau kalau mau jual visi, ya bilang saja terus terang," ujar Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih di Kantor Ombudsman, Jumat, 8 September 2017.
Menurut dia, iklan yang dilakukan harus sesuai agar publik tidak berekspektasi bahwa lahan hunian 500 hektar itu sudah pasti jadi. Selain tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, dia berujar praktik pemasaran yang dilakukan oleh pengembang juga tidak sesuai dengan Undang-Undang 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Undang-Undang itu menyebutkan dalam pasal 42 ayat 1 bahwa pelaku pembangunan boleh melakukan pemasaran sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan. Namun, dalam ayat 2 dijelaskan bahwa untuk melakukan pemasaran, maka pelaku pembangunan sekurang-kurangnya harus memiliki, antara lain kepastian peruntukan ruang, kepastian hak atas tanah, kepastian status penguasaan rumah susun, perizinan pembangunan rumah susun, dan jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.
Sementara, hingga saat ini, perizinan pembangunan Meikarta itu masih mandek di Pemerintah Kabupaten Bekasi. Dengan begitu, Alamsyah berujar, persyaratan yang tertera di UU itu tidak dapat dipenuhi pengembang. "Kalau izin belum ada, kami berpandangan iklan enggak boleh," kata dia.
Apabila praktik itu dilanjutkan, dia berujar, pengembang bisa dijatuhi sanksi administrasi oleh pemerintah daerah. Bahkan, apabila ternyata ditemukan telah terjadi transaksi, padahal perizinannya belum rampung, developer bisa dijatuhi sanksi pidana. "Syukurnya di lippo ini belum ada transaksi," ucapnya.
Direktur Komunikasi Lippo Group Danang Kemayan Jati membenarkan bahwa lahan yang diperuntukkan untuk pemukiman Meikarta adalah 84,6 hektar. "Memang di iklan kami bilang 500 hektar, tapi ini kan visi ya, Pak," ujarnya.
Selanjutnya, Danang tidak merasa pengembang melakukan pelanggaran, lantaran dia menilai kegiatan iklan dan perizinan dapat dilakukan secara paralel. Terlebih, kegiatan itu masih berada pada tahapan pre-selling, yang belum ada transaksi jual beli di dalamnya.
"Belum bisa disebut sebagai marketing, hanya promosi. Dalam properti, preselling itu adalah sesuatu yang sangat normal dilakukan pengembang," kata dia.
Mengenai booking fee yang digaungkan dalam kegiatan pemasaran selama ini, menurut dia tidak masuk dalam kategori transaksi. Duit itu disetor sebagai tanda antrean bagi calon pembeli. "Agar antrinya bagus, memilih lokasinya cepat. Kalau enggak suka, bisa dikembalikan," ujar dia.
Dia menyatakan saat ini proses pengajuan perizinan sedang berlangsung. Perusahaan Lippo Group mengaku sudah mengajukan perizinan sejak Mei 2017. Dia belum tahu kapan perizinan itu akan keluar.
CAESAR AKBAR