TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu alasan pemerintah mengevaluasi sejumlah insentif perpajakan karena belum banyak pihak yang memanfaatkannya. “Pemerintah banyak beri insentif, tapi yang pakai itu tidak banyak,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, Kamis, 7 September 2017.
Suahasil menyatakan, dulu pemerintah berpikiran bahwa investasi masuk ke dalam negeri semata-mata karena ada insentif pajak. “Tapi ternyata yang pakai tidak terlalu banyak. Jadi orang masuk bukan gara-gara itu," katanya.
Menurut Suahasil, insentif pajak memang menjadi salah satu hal yang diperhatikan oleh investor, namun hal tersebut bukan menjadi hal utama yang dipertimbangkan oleh mereka saat ini. "Dia juga lihat perizinan, infrastruktur, tata cara licensing, ketersediaan bahan baku, dan transportasi ada tidak pelabuhannya, " katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kemarin menyatakan siap melakukan evaluasi atas berbagai insentif perpajakan yang selama ini kurang diminati oleh para pelaku usaha untuk mendorong kegiatan ekonomi.
Sri Mulyani mengatakan saat ini banyak berbagai insentif perpajakan seperti tax holiday, tax allowance maupun pembebasan pajak lainnya yang pemanfaatannya sangat terbatas. Padahal, banyak dari insentif perpajakan tersebut telah dirumuskan dan terbit sejak dirinya menjabat sebagai Menteri Keuangan pada periode 2005. Pemerintah akan berdiskusi dengan para pengusaha untuk mencari solusi atas masalah tersebut.
Menurut Sri Mulyani, momen saat ini sangat tepat untuk melakukan evaluasi dan perbaikan, apalagi perusahaan yang menggunakan insentif perpajakan saat ini bisa dihitung dengan jari. Dengan proses evaluasi tersebut maka diharapkan proses pemanfaatan insentif perpajakan ini kedepannya bisa efektif mendorong kinerja ekonomi dan bermanfaat bagi dunia usaha.
Dengan adanya evaluasi, kata Sri Mulyani, pemerintah ingin melihat apakah kebijakan insentif yang sama bakal menciptakan kepercayaan yang baru bagi investor. "Atau akan kami ubah insentifnya supaya lebih memiliki dampak baik," ucapnya.
ANTARA | ADITYA BUDIMAN