TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan ingin menulis buku jika pensiun nanti. Salah satu ide penulisan Sri Mulyani berkaitan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). "Kalau APBN atau neraca keuangan Indonesia dari tahun pertama disusun, dibuat fiksi, saya yakin tidak akan kalah dengan John Grisham atau Tere Liye," kata Sri Mulyani saat membuka Festival Literasi di kantornya, Jakarta, Selasa, 5 September 2017.
Baca juga: Begini Hitungan-Hitungan Pajak yang Dikeluhkan Tere Liye
Nama Tere Liye jadi sorotan akhir-akhir ini. Gara-garanya, penulis novel kenamaan ini memutus kontrak penerbitan bukunya dengan Gramedia Pustaka Utama dan Republika. Penulis buku Negeri Para Bedebah, Burlian, Rindu, dan Negeri di Ujung Tanduk. Penulis bernama asli Darwis ini keberatan dengan pungutan pajak yang terlalu tinggi.
Dari hasil hitungannya, kata Tere, penulis harus membayar pajak 24 kali lebih tinggi dibanding pengusaha usaha mikro, kecil, dan menengah. Artinya dua kali lebih besar dibanding profesi pekerjaan bebas.
Menteri Sri Mulyani pun mengatakan siap untuk membenahi pelayanan terkait dengan pajak penghasilan profesi yang dikeluhkan oleh penulis Tere Liye terlalu tinggi dan memberatkan.
"Kalau masalahnya adalah pelayanan, seharusnya itu bisa diperbaiki segera. Tidak hanya untuk penulis Tere Liye saja tapi juga kepada yang lain," kata Sri Mulyani di Jakarta, Rabu, 6 September 2017.
Sri Mulyani mengatakan persoalan pajak ini segera diselesaikan sepenuhnya oleh Direktorat Jenderal Pajak agar tidak terulang lagi di kemudian hari.
Namun, menurut dia, kalau persoalan pajak penghasilan ini terkait dengan tarif yang berhubungan dengan peraturan hukum, permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu cepat, karena harus menunggu revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan.
"Kalau ini menyangkut masalah tarif yang berhubungan dengan UU, kita harus jelaskan ini tidak mungkin kita selesaikan dalam jangka pendek," kata Sri Mulyani.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama menegaskan, pada prinsipnya semua jenis penghasilan yang diterima, dikenakan pajak sesuai peraturan hukum.
Penghasilan yang menjadi obyek pajak, dia menambahkan, adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis, sehingga pajak dikenakan atas penghasilan neto yang ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Terkait dengan perlakuan pajak yang dinilai tidak adil oleh Tere Liye, Hestu menjelaskan, wajib pajak yang berprofesi sebagai penulis dengan penghasilan bruto kurang dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan netonya.
Penghitungan penghasilan neto tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) yang besarnya adalah 50 persen dari royalti yang diterima dari penerbit.
Ketentuan teknis penghitungan dan penggunaan NPPN itu diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 untuk Klasifikasi Lapangan Usaha Nomor 90002 (Pekerja Seni).
Hestu memastikan Direktorat Jenderal Pajak menghargai setiap saran untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem perpajakan, yang saat ini telah didukung oleh pelaksanaan reformasi perpajakan secara konsisten.
"Masukan dari semua pihak kami tindak lanjuti sesegera mungkin, namun keputusan bersifat kebijakan diambil secara hati-hati dengan mempertimbangkan semua aspek, termasuk aspek legal dan analisis dampak kebijakan lebih luas yang sering membutuhkan waktu tidak singkat," katanya menanggapi keberatan Tere Liye itu.
VINDRY FLORENTIN | ANTARA