TEMPO.CO, BANDUNG — Direktur Produksi PT Dirgantara Indonesia Arie Wibowo mengatakan, biaya pengembangan produk baru PT Dirgantara Indonesia, Pesawat N245, ditaksir menembus 225 juta dollar AS. “Secara garis besar butuh sekitar 200-300 juta dollar AS,” kata dia di Bandung, Selasa, 5 September 2017.
Baca juga: Sukses Uji Terbang Perdana, Ini Keunggulan Pesawat N219
Dari taksiran kebutuhan itu, sedikitnya 190 juta Dollar AS untuk biaya pengembangan dan 35 juta Dollar AS untuk biaya pengembangan infrastrukturnya. “(Biaya tersebut) untuk bikin 3 prototipe, dan sertifikasi,” kata Arie.
Arie mengatakan, sengaja prototipe pesawat N245 dibuat 3 unit guna mempercepat tes jam terbang untuk mengantungi sertifikasi. “Tiga (unit) itu untuk percepat waktu sertifikasi. Dengan tiga pesawat terbang maka akumulasi testing jam terbangnya akan lebih cepat,” kata dia.
Saat nantinya pesawat N245 rampung, dua unit purwarupanya sekaligus akan menjadi dua unit pertama yang akan dipasarkan untuk jenis pesawat itu. “Dari tiga unit itu, dua unit kita jual sebagai the first two serial production, yang langsung kita jual. Begitu ktia sertifikasi, kita punya 3 pesawat. Dua pesawat kita jual, yang 1 pesawat kita keep sebagai development pesawat itu,” kata dia.
Menurut Arie, saat ini rancangan pesawat N245 masih berupa konsep disain. “Kita belum berani terlalu maju karena kita belum dapat modal untuk bisa full blasst program, maju. Kita lakukan ‘conpetual design’ dulu, begitu on betul maka kita akan melakjukan sampai dengan detil disain, sampai bisa produksi,” kata dia.
Arie mengatakan, pesawat N245 sendiri merupakan pengembangan N235. Dia mengklaim, rancangannya akan punya sejumlah kelebihan dengan pesawat dengan tipe yang hampir sama seperti ATR 42. “Kita lebih bagus dari ATR karena secara teknis CN235 bisa landing dan take-off di landasan di bawah seribu meter, kurang dari 1 kilometer. Itu yang kita kejar,” kata dia. Salah satu kelemahan ATR42 adalah tidak bisa mendarat di landasan perintis dengan panjang kurang dari 1 kilometer.
Pesawat N245 sendiri dirancang sebagai pesawat 50 penumpang untuk melayani penerbangan rute pendek kurang dari 1,5 jam. “Kita menargetkan pasar-pasar di mana pesawat 50 penumpang (untuk melayani) antar kota yang jaraknhya sekitar 1 jam sampai 1,5 jam maksimum untuk pemenuhan kebutuhan Indonesia sebetulnya,” kata Arie.
Arie mengatakan, taksiran kebutuhan pesawat tipe 50 penumpang untuk penerbangan domestik rute pendek untuk Indonesia bisa menembus 50 unit pesawat. Dia optimis penjualan itu akan terpenuhi untuk pasar lokal jika PT DI sanggup membuat pesawat N245. “Potensi itu harus dikejar, supaya BEP masuk, jadi uang investasinya itu ter-armortisasi dengan uang penjualan pesawat dengan jumlah tertentu,” kata dia.
Menurut Arie, pesawat N245 itu akan menjadi titik penting bagi PT DI untuk masuk ke bisnis produksi pesawat komersial. “Jadi N219 itu sebenarnya try-out kita membuktikan kita mampu men-develop pesawat dari nol sampai mampu mendapat sertifikasi. Dan itu turning oover ktia untuk bisa masuk ke comercial sector,” kata dia.
Saat ini PT DI masih merampungkan tes uji terbang pesawat printis N219 agar bisa mengantungi sertifikasi sehingga bisa dipasarkan. PT Dirgantara Indonesia dan Lapan membuat 4 unit pesawat N219, 2 unit purwarupa untuk diterbangkan dan dua unit untuk keperluan ‘testing ground’. Dua unit purwarupa yang rampung setelah mengantungi sertifikasi akan menjadi milik Lapan, tapi PT Dirgantara bisa menggunakannya untuk pengujian pengembangan pesawat tersebut. “N219 sudah menghabiskan Rp 800 miliar. Kita butuh sekitar Rp 200 miliar lagi untuk sampai sertifikasi,” kata Arie.
AHMAD FIKRI