TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menegaskan rendahnya inflasi inti dan deflasi tak berarti daya beli masyarakat juga rendah. Sebaliknya, deflasi dan rendahnya inflasi inti adalah hasil pemerintah mengendalikan harga.
"Inflasi inti tidak melambangkan lemahnya daya beli," ujar Agus setelah menemui Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa, 5 September 2017.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka inflasi inti Indonesia tergolong rendah per Agustus ini. Tingkat inflasi komponen inti tahun kalender (Januari-Agustus) 2017 tercatat mengalami inflasi sebesar 2,15 persen, sedangkan tingkat inflasi komponen inti tahun ke tahun (Agustus 2016-Agustus 2017) sebesar 2,98 persen. Adapun deflasi tercatat 0,07 persen.
Sejumlah pihak menganggap deflasi dan rendahnya angka inflasi inti itu sebagai pertanda rendahnya daya beli konsumen. Ekonom PT Bank Central Asia, David E. Sumual, misalnya, beranggapan rendahnya inflasi inti bisa jadi bukan karena faktor musiman, melainkan sektor konsumsi yang stagnan.
Hal senada disampaikan Kepala Analis BTN Winang Budyoyo. Ia mengatakan inflasi inti pada Agustus 2017 merupakan yang terendah dibanding Agustus dalam 14 tahun terakhir. Menurut dia, rendahnya inflasi inti menunjukkan daya beli masyarakat merosot.
Agus menyebut daya beli rendah dengan inflasi inti rendah Agustus 2017 tak sepenuhnya berkaitan. Perihal daya beli yang tampak rendah, ia mengatakan hal itu lebih disebabkan oleh pergeseran pola konsumsi masyarakat dari kuartal kedua ke ketiga tahun ini.
Sementara itu, inflasi inti yang rendah disebabkan oleh harga transportasi dan pangan yang terkoreksi. Harga transportasi udara, kata Agus, konsisten turun, sedangkan harga pangan rendah. Komponen pembentuk inflasi malah cenderung dari biaya pendidikan. "Hal yang harus dilihat, hal ini menunjukkan di tahun 2017 inflasi bisa sesuai dengan target 4 persen," ujarnya.
ISTMAN M.P.