TEMPO.CO, Jakarta - Perundingan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia telah menemui titik temu, Selasa, 29 Agustus 2017. Meski begitu, pakar hukum pertambangan dari Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, mengatakan masih banyak masalah dalam kesepakatan tersebut.
Pertama terkait pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport yang dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang Minerba. "Menurut UU Minerba, IUPK dapat diberikan melalui penetapan wilayah pencadangan negara yang harus disetujui DPR. IUPK pun diprioritaskan diberikan kepada BUMN," kata Redi dalam keterangan tertulisnya.
Baca: Freeport Indonesia Memilih Berstatus IUPK
Redi juga mempertanyakan komitmen pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam kurun waktu lima tahun setelah IUPK dikeluarkan, atau selambatnya pada tahun 2022. Ia mengatakan Freeport sudah sejak lama menjanjikan pembanguann itu, namun tak ada hasil yang terlihat.
Selain itu, Redi mengatakan pembelian saham divestasi di masa akan berakhirnya Kontrak Karya (KK), adalah kebijakan yang merugikan bagi Indonesia. "Karena tanpa membeli saham divestasi pun maka pada tahun 2021 atau setelah KK berakhir maka wilayah eks PT Freeport menjadi milik Pemerintah Indonesia," kata Redi.
Baca Juga:
Divestasi saham oleh Freeport, dalam KK perpanjangan 1991 sudah ada kewajiban divestasi saham Freeport yang harusnya pada tahun 2011 sudah 51 persen dimiliki Pemerintah. Namun Redi menyayangkan hingga saat ini kewajiban divestasi 51 persen ini tidak juga direalisikan Freeport.
"Hasil perundingan ini malah bentuk mengukuhan kembali Freeport Indonesia untuk mengeksploitasi SDA Indonesia yang kemanfaatannya bagi bangsa Indonesia sangat rendah," kata dia.
EGI ADYATAMA