Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Departemen Perdaganan menyatakan harga beras selama 2006 mengalami kenaikan 14,8 persen dari Rp 4.170 pada Januari menjadi Rp 4.780 per kilogram pada Desember. Harga beras selama tahun ini lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Ardiansyah S Parman mengatakan, kenaikan harga beras akan mendorong laju inflasi pada 2006. "Kemungkinan inflasi Desember akan naik, karena adanya kenaikan harga beras," ujarnya, Jumat (29/12). Menurut Ardiansyah, kenaikan inflasi akan meningkatkan jumlah orang miskin. "Harga beras yang tinggi sangat dekat dengan garis kemiskinan," katanya. Ardiansyah menjelaskan, persentase kenaikan harga beras pada 2006 hampir sama dengan tahun lalu. Namun, dari harga jual, harga beras tahun ini lebih mahal dibandingkan 2005. Januari tahun lalu harga beras Rp 3.100 dan Rp 3.600 per kilogram pada Desember. Sedangkan pada 2006, harga beras Januari Rp 4.170 dan Desember Rp 4.780 per kilogram. "Harga beras tahun ini lebih tinggi dari tahun lalu," ujarnya. Menurut perhitungan Departemen Perdagangan, kata Ardiansyah, tahun depan kemungkinan masih terjadi defisit beras. "erdasarkan ramalan ketiga tahun ini, Desember 2006 dan Januari 2007 produksi beras dalam negeri hanya 1,1-1 juta ton," katanya. Angka tersebut masih dibawah tingkat konsumsi per bulan mencapai 2,5 juta ton. Kenaikan harga beras mencapai 14,8 persen menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso, bukan karena defisit melainkan karena persoalan distribusi. "Produksi beras tahun ini masih surplus," ujarnya kepada Tempo, Jumat (29/12). Dia menjelaskan, berdasarkan Angka Ramalan III Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia masih berada dalam posisi surplus. Angka BPS mencatat, produksi gabah kering giling 2006 mencapai 54,6 juta ton. Sutarto juga membantah jika kenaikan harga beras terjadi akibat gagal panen dan faktor musim. Meski dia mengakui faktor musim seperti gangguan El-Nino acapkali digunakan untuk mendongkrak harga beras di pasar. Menurut dia, kenaikan harga beras terjadi akibat persoalan distribusi pada periode Oktober-Desember. Padahal, saat itu jumlah produksi beras bulanan sudah berada di bawah konsumsi nasional yang mencapai rata-rata 2,5 juta ton per bulan. Sutarto menjelaskan, dari 33 provinsi di Indonesia separuh dintaranya tidak bisa memenuhi kebutuhan beras masyarakatnya sepanjang tahun. Sehingga pada periode Oktober-Januari pemerintah daerah itu harus mendatangkan beras dari luar. Ironisnya, pada periode Oktober-Januari kebanyakan beras sudah berada di tangan pedagang. "Jadi tidak menutup kemungkinan mereka (pedagang) yang mengatur harga," ujarnya. Melejitnya harga beras awal Desember lalu, menurut Sutarto, juga dipicu berhentinya penyaluran beras miskin oleh Bulog. Tahun ini beras miskin dibagikan hingga Oktober. Sehingga, pada November-Desember masyarakat praktis membeli beras dengan kualitas lebih tinggi. Menurut Sutarto, untuk mengatasi terulangnya kenaikan harga beras pemerintah daerah seharusnya memiliki cadangan beras sendiri. Cadangan ini dikeluarkan pada saat musim paceklik Oktober hingga Januari datang. RR ARIYANI | EWO RASWA
Iklan
