TEMPO.CO, Jakarta - Tujuh tahun bermain di bisnis alas kaki, Bro.do tampil sebagai produk lokal kelas menengah ke atas. Saban tahun, ratusan ribu pasang sepatu berbahan kulit dari Cibaduyut, Bandung, itu laris dipesan konsumen.
Co-Founder Bro.do, Yukka Harlanda, kini terus berusaha menggenjot kualitas dan layanan perusahaannya, yang perlahan bersalin status dari usaha rintisan ke bisnis kelas menengah. Segmen fashion maskulin alias produk khusus pria kelas menengah ke atas menjadi strategi utama Bro.do untuk bersaing di industri alas kaki. "Kami ingin sepatu made in Indonesia menjadi nomor satu," kata dia kepada wartawan Tempo, Putri Adityowati, pada Selasa, 16 Agustus 2017.
Baca: Trik Membersihkan Sepatu Kets Putih agar Kembali Seperti
Lantas, seperti apa kisah Yukka mendirikan dan mempertahankan Bro.do? Berikut ini petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda memulai bisnis ini hingga kemudian dikenal masyarakat?
Saya pernah kesulitan mencari sepatu karena ukuran kaki yang besar. Jadi, saya harus membeli merek luar negeri yang mahal dan tak sesuai dengan selera. Saat kuliah semester III (pada 2010), partner saya Putera Dwi Kurnia atau Uta ingin jadi pengusaha dan mengajak berbisnis sepatu. Saat acara Pasar Seni ITB, kami membuat lima pasang sepatu desain sendiri, tapi dibuat di Cibaduyut. Ternyata ludes. Dengan modal tabungan masing-masing Rp 3,5 juta, saya dan Uta membuat sepatu lagi dengan merek Bro.do. Sejak itu terus berkembang.
Baca juga:
Simak: Pilah-Pilih Sepatu Luar Ruang Serbaguna
Dari mana munculnya ide nama itu?
Awalnya, kami mencari nama dewa-dewa. Ternyata sudah diambil semua. Kemudian mengecek nama-nama absurd, seperti Apple atau Blackberry, tapi belum ketemu. Saat sedang membaca komik, ada kata brodo yang artinya kaldu ayam. Nama itu terdengar cowok banget karena pelanggan kami bro, dan filosofi kami akhirnya tentang brotherhood atau persaudaraan. Kami membiasakan pakai kata bro. Lalu kata itu identik dengan kami.
Mengapa berfokusdi produk alas kaki laki-laki?
Pasar ini cukup besar dan kebetulan pemenangnya belum jelas. Jadi, kami ingin berfokus di sini, meyakinkan publik bahwa sepatu cowok ya Bro.do. Basis konsumen kami mayoritas umurnya 23-35 tahun. Masyarakat yang punya koneksi Internet, tinggal di kota besar, atau kelas menengah sekitar 30 juta orang. Kalau kami terlalu cepat mencoba segmen lain, mungkin belum kuat. Barangkali 20 tahun lagi.
Memang hanya ingin berfokus di sepatu kulit saja?
Tren sepatu mahasiswa pada 2010 itu pakai sepatu kulit. Sneakers belum tren. Serunya, ada siklus dunia fashion. Tren akan berulang. Sekarang memang lagi tren sneakers, tapi faktanya setiap cowok pasti punya satu sepatu kulit. Jadi, pasarnya luas dan cukup menantang untuk kami coba. Apalagi sepatu kulit bisa dibuat hand-made. Perajin di Cibaduyut punya kemampuan membuat sepatu buatan tangan dan bagus. Sedangkan sneakers harus kelas industri.
Mengapa memilih sepatu kelas premium?
Awalnya, best seller Bro.do Rp 680 ribu-Rp 2 jutaan. Kami pernah membuat spesial produk dengan harga sekitar Rp 3 juta dengan teknik khusus dan proses pembuatannya lama. Kami enggak mau dibilang premium, tapi enggak mau dibilang murahan juga. Inginnya affordable, tapi dengan kualitas tinggi. Sekarang ini, untuk kategori lokal, memang termasuk kelas yang di atas. Konsumen ada yang bilang Bro.do mahal. Ada juga yang menyebutnya murah. Jadi, yang menganggap ini premium menilai dia pakai Bro.do agar bisa upgrade penampilan.
Apa keunggulannya dibanding merek lain?
Buatan Indonesia bagus juga. Dari segi branding, dari awal fokus ke segmen Indonesia gentlemen. Image gentlemen biasanya untuk laki-laki yang sudah sukses. Orang yang bangun pagi, berangkat kerja macet-macetan, mengejar cita-cita, itu gentlemen. Nah, itu yang kami rayakan. Jadi, begitu orang pakai Bro.do, rasanya gentlemen banget.
Sepeti apa strategipemasaran Anda?
Awalnya kami dari pameran ke pameran, lalu mendapat tawaran masuk ke distro. Penjualan paling tinggi adalah sewaktu kami masuk pameran Brightspot di Jakarta. Dari situ, masuk gerai Goods Dept pada akhir 2011.Penjualan stabil, tapi enggak puas. Itulah momen di mana saya mikir penjualan seperti ini enggak efisien. Akhirnya kami jual sendiri saja. Kami putuskan pakai Facebook, dan ngobrol dengan pembeli via BlackBerry Messenger (BBM). Karena transaksi setiap hari dan langsung ke konsumen, kami jadi tahu apa yang paling laku. Kami ubah semua ke online. Dua tahun pertama kami penuhi demand, produksi habis. Ada beberapa konsumen yang membeli langsung ke saya.
Seberapa besar pembeli online Bro.do?
Porsi konsumen online versus offline adalah 60:40. Dulu kami pakai Facebook Ads. Pada 2013, kami buka toko di Kemang. Dalam sebulan, ada 1.000 orang datang ke toko ini. Jadi, asal kanbarang kita bagus, orang mau nyari, kok. Penjualan naik berkali lipat. Sekarang sudah ada situs web Bro.do. Pasar dari Sabang sampai Merauke, kami belum layani konsumen dari luar negeri. Kami harus punya customer service yang capable untuk melayani pembeli luar negeri.
Bagaimana berkompetisi dengan merek lokal?
Itu bukan kompetisi. Itu menjadi motivasi buat kami. Kami berkompetisi dengan brand asing yang menguasai mal, yang sebenarnya kualitas sepatunya sama seperti buatan Indonesia. Yang kami ingin, sepatu made in Indonesia dipakai oleh orang Indonesia, dan jadi nomor satu di sini. Saya enggak sudi lihat ada brand asing berjaya, tapi sebenarnya kualitasnya sama saja.
Seberapa besar pasar sepatu yang akan datang?
Di Indonesia pasarnya ada US$ 3 miliar atau Rp 40 triliun untuk laki-laki dan perempuan. Anggap saja laki-laki sepertiganya. Jadi, masih besar sekali.
Apa target tahun ini?
Kami akan merekrut lebih banyak lagi tokoh untuk menjadi keluarga kami. Selain itu, pengiriman harus lebih cepat. Kira-kira begitu agar bisa mencapai produksi 1 juta pasang sepatu per tahun.