TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Sudrajat menanggapi banyaknya layanan aplikasi travel online seperti Traveloka, Pegi-Pegi, Grahatour, dan layanan sejenis terhadap okupansi hotel. Menurut dia, aplikasi tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap tingkat okupansi.
Pasalnya, fungsi aplikasi itu hanya sebatas memberikan kemudahan serta peralihan metode booking, dari yang awalnya pelancong harus datang ke agen perjalanan, dan kini mereka dapat memesan hotel melalui online. Sedangkan jumlah keterisian hotel tidak bertambah.
"Intinya itu hanya bergeser saja. Dari dulu orang pesan hotel lewat travel, sekarang lewat genggaman tangan, online booking," tutur Sudrajat di Hotel Borobudur, Senin, 14 Agustus 2017.
Meski demikian, ia mengakui adanya pola perubahan konsumsi masyarakat dari yang awalnya konsumsi fisik seperti sandang, pangan, papan dan fasilitas, sekarang mulai bergeser menggunakan uangnya untuk berwisata menikmati hidup. APHRI melihat adanya potensi peningkatan wisata di sektor hotel dan restoran dengan melihat pola perubahan ini.
Ia berharap Badan Pusat Statistik dapat menambah data-data statistik terkait pola perubahan konsumsi tersebut, sehingga dapat memberikan gambaran bagi pemerintah dalam mendorong pertumbuhan sektor wisata, yang akhirnya akan menambah jumlah okupansi hotel.
Selain itu kata dia, sedikitnya okupansi hotel juga dipengaruhi oleh berkembangnya hotel-hotel baru yang dibangun. Sehingga, meski dari sisi jumlah wisatawan naik, namun jumlah itu masih kalah bila dibandingkan dengan penambahan kamar, yang mengakibatkan pemasukan hotel berkurang dari sisi individu.
“Bahkan pertumbuhan hotel berapa kami kurang bisa memonitor data yang benar. Kami harus minta bantuan BPS karena potensi yang rata-rata naik kan di industri hotel dan restoran. Diharapkan data pertumbuhan restoran dan hotel bisa dipantau, sehingga bisa ditentukan ukuran untuk membuat kebijakan itu,” ujarnya.
DESTRIANITA